Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) digadang-gadangkan sebagai bentuk jawaban atas permasalahan ketidaksesuaian antara output pendidikan dengan dunia industri (lapangan pekerjaan). Ketidaksesuaian tersebut berimplikasi terhadap menjamurnya pengangguran di Indonesia. Dengan hadirnya SMK sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional, pendidikan menengah kejuruan berfokus pada pengembangan keterampilan peserta didik untuk berhasil bekerja di bidang tertentu. Selain itu, pendidikan ini juga menekankan kemampuan adaptasi di lingkungan kerja, kemampuan identifikasi peluang pekerjaan, dan kemampuan pengembangan diri untuk masa depan.
Globalisasi memiliki dampak terhadap realitas pendidikan yang mengalami pergeseran orientasi. Orientasi tidak lagi bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi lebih kepada menghasilkan lulusan yang menguasai ilmu praksis. Kemampuan praktis dianggap mampu membimbing peserta didik menuju hasil yang lebih praktis dan nyata secara material (Suparlan, 2015). Salah satu pendidikan formal yang mempersiapkan individu untuk mencapai keunggulan dalam lingkungan kerja adalah melalui Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Secara optimal, lulusan SMK diharapkan menjadi tenaga kerja tingkat menengah yang siap untuk langsung terlibat dalam dunia bisnis dan industri (Martono, dkk., 2018). SMK menawarkan berbagai minat atau jurusan yang sesuai dengan kebutuhan industri pada masanya. Peminatan ini yang menjadi pembeda dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang cenderung bersifat general pada pengetahuan alam dan pengetahuan sosial. Akan tetapi, SMK hadir dengan bidang-bidang yang disesuaikan dengan kebutuhan industri. SMK juga diberikan kesempatan untuk magang di dunia kerja sebagai bentuk keseriusannya terhadap permasalahan SDM yang tidak sesuai dengan kebutuhan industri.
Kebutuhan industri menjadi napas panjang bagi SMK karena dapat berkolaborasi secara nyata dan sesuai dengan kebutuhan. SMK menjadi angin segar, khususnya bagi masyarakat ekonomi menengah kebawah karena dianggap mampu menghantarkan anak-anaknya ke dunia industri tanpa melalui jenjang sekolah tinggi. Kehadiran SMK tentunya disambut cukup hangat karena tidak payah mengeluarkan uang berlebih untuk kebutuhan sekolah tinggi. Uang yang berlebih bisa dipakai untuk kebutuhan lain atau bahkan untuk biaya sekolah adik hingga lulus SMK kembali, dengan harapan sang anak dapat mendapatkan pekerjaan setelah lulus dari SMK.
Tabir Penyingkapan
Namun, realitas yang ada sering kali bekerja tidak sesuai dengan harapan. Sebaliknya, SMK malah muncul dengan membawa sejumlah permasalahan baru, bahkan menjadi isu sentral terkait dengan tingginya angka pengangguran. SMK menjadi penyumbang pengangguran terbanyak dari tahun ke tahun. Secara kompetensi pun terkadang SMK diragukan oleh sebagian pihak, bahkan industri lebih banyak mempekerjakan lulusan SMA. Bukan tanpa sebab, lulusan SMK sering kali dianggap memiliki pengetahuan teori yang minim, ketinggalan zaman, softskill-nya rendah, dan jauh dari harapan industri (Kisti, 2012). “Pengembangan softskill sangat penting, kita terlalu fokus pada hardskill saja. Padahal yang dikeluhkan oleh industri itu anak SMK yang kurang kerja sama, lemah komunikasinya, tidak kreatif, dan daya jualnya rendah,” ujar Pak Ali, salah seorang guru SMK yang menerapkan nilai-nilai Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM). Hal tersebut merupakan suatu informasi yang sudah lumrah di masyarakat setempat, tetapi masyarakat tidak menghiraukannya.
Bagaimana bisa sekolah yang diorientasikan untuk siap kerja justru malah menjadi tempat produksi pengangguran terbesar sekitar 11,13% tertinggi di antara jenjang pendidikan lainnya menurut Databoks. Padahal biasanya di pagi hari selalu terdengar moto atau slogan yang sering diutarakan tanpa rasa bersalah atau malu “SMK… BISA!” bisa apa? Kiranya tidak pernah diberikan kesempatan untuk mempertanyakan hal tersebut. Setiap hari hanya disuguhkan dengan berbagai pelajaran kompetensi yang sebenarnya tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Dunia siswa hanya menggeluti praktikum dan harapan siap kerja selepas lulus. Kembali lagi, SMK bisa apa? Bisa menambah jumlah pengangguran? Bisa membohongi masyarakat ekonomi menengah kebawah? Faktanya mereka yang sudah lulus dari SMK sangat rendah sekali yang terserap industri atau bahkan berwirausaha. Belum lagi datang permasalahan gratifikasi di badan sekolah untuk disambungkan dengan mitra perusahaan yang akan dituju. Bagi anak-anak yang terlahir dari keluarga kelas menengah ke bawah hanya bisa menghela napas karena tidak mampu membayar uang administrasi yang diminta oleh pihak sekolah dan industri. Semakin merasa tertipu ketika mengetahui setelah lulus para siswa SMK harus membayar lagi jika ingin bekerja dan juga ada mereka yang diproduksi ulang di Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) untuk diberangkatkan kerja ke luar negeri, tentunya biayanya tidak murah.
Apakah tidak ada yang setelah lulus langsung terserap oleh industri? Jelas ada, tetapi sangat sedikit. Bagaimana tidak, saingannya lulusan D4, S1, S2, dst. yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang jauh berbeda dari hanya sekadar anak SMK. Pertanyaan lanjutannya, apakah anak SMK dapat bersaing dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi? Tentu bisa, tetapi jika hanya mengandalkan pelajaran sekolah saja tidak cukup. Permasalahan mendasarnya tidak datang dari pertanyaan-pertanyaan di atas, tetapi kenapa ada SMK dan mempunyai slogan “SMK BISA”, “Siap Kerja”, dan sebagainya. Kenapa hadirnya SMK tidak sama dengan asumsi hadirnya SMA? Terutama jika berbicara dalam konteks serapan industri atau pekerjaan. Anak SMA juga bisa mendaftar di perusahaan yang sama dengan mitra SMK dengan syarat dan ketentuan yang sama pula, dan anak SMA jauh lebih diuntungkan jika melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Mereka sudah terbiasa menjawab soal-soal teoretis, sedangkan anak SMK yang basisnya pembelajaran praktik hanya bisa mengelus dada. Mau kerja susah dan ternyata mau melanjutkan pendidikan juga tidak diberikan kesempatan untuk diuji secara kompetensi keahlian praktik, semuanya dipukul rata dengan kemampuan-kemampuan teoretis. Pada akhirnya siswa lulusan SMK harus sabar dan menerima fakta bahwa mereka kalah bersaing di mana-mana, harus ada kemauan besar jika menginginkan untuk keluar dari zona tersebut. Jika tidak bisa, mereka harus mencari pekerjaan buruh kasar dan yang mereka pekerjakan hanya otot-ototnya sebagaimana budak bekerja.
Daftar Pustaka
Kisti, H. H. (2012). Hubungan antara self efficacy dengan kreativitas pada siswa SMK (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS AIRLANGGA).
Kusnandar, V. B. (2021). Pengangguran di Indonesia Paling Banyak Lulusan SMK. Diakses dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/24/pengangguran-di-indonesia-paling-banyak-lulusan-smk
Suparlan, H. (2015). Filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan sumbangannya bagi pendidikan Indonesia. Jurnal Filsafat, 25(1), 56-74.
Penulis: Romdhoni Afif Nasrullah
Editor: Ratu Mutiara Kalbu
0 Comments