GSM

Pendidikan yang baik tak hanya berlangsung satu arah—dari guru kepada murid. Ada kalanya guru belajar lebih banyak dari murid. Pada titik ini, ada sebuah proses belajar yang tidak berhenti dari para guru. Dalam kunjungan ke SD Muhammadiyah Mantaran, Rabu (20/02), proses ini terlihat kentara ketika guru tidak lelah mencoba banyak metode belajar.

Kelas 5 SD Muhammadiyah Mantaran mendapatkan sorotan dari para pengajar karena proses belajar yang memberikan tantangan. Berbagai macam metode pembelajaran setidaknya dicoba untuk membuat para murid bersenang-senang dalam belajar. Namun kenyataannya, murid-murid masih kesulitan menemukan irama belajar yang asyik.

“Murid kelas 5 itu spesial,” ujar Pak Lambang pengampu mata pelajaran Matematika. “Di kelas mereka akan cepat lupa, misal lima ditambah lima dikali lima berapa. Tetapi, jika saya ajak jalan lalu mempraktikkannya lewat batu yang ada di jalan, itu ada lima batu, mereka langsung bisa menjawab. Kalau balik ke kelas hitung-hitungan itu akan lupa lagi. Menurut saya, jadinya konsep bermainnya yang lebih masuk ke mereka.”

Kejadian serupa juga terjadi di beberapa mata pelajaran lain. Cara belajar text book tidak membuat anak-anak tertarik untuk belajar. Guru kerap kali kesulitan untuk membuat anak-anak mengikuti kurikulum 2006 yang berlaku. Dan menjadi tantangan besar ketika di tahun pelajaran 2019/2020, anak-anak ini akan menginjak kelas 6 SD. Model standardisasi melalui kurikulum justru membuat guru dan murid mengalami kesulitan menjalankan pembelajaran karena kemampuan murid yang berbeda-beda. Guru jadi tak leluasa untuk mengenali kebutuhan siswa dan memberikan materi sesuai kebutuhan masing-masing murid.

Meski memberikan fakta yang menantang, para guru mengakui anak-anak ini memiliki hal yang istimewa. “Mereka memiliki daya imajinasi yang luar biasa. Kadang mereka bertanya hal yang tak terpikirkan sebelumnya meski sebenarnya masih berkaitan,” ujar Bu Dian yang menemani kami berkeliling. “Anak-anak ini sebenarnya juga kritis,” tambahnya lagi. “Pada satu waktu ketika kerja bakti di kali, murid kelas 5 ini membuat anak tangga yang menghubungkan jalan dengan kali. “Biar nanti tidak terpeleset, Bu,” ujar salah satu murid.

Para murid kelas 5 sebenarnya telah memiliki bekal yang cukup untuk membaca fenomena sosial dan penalaran lingkungan di mana mereka tinggal. Dengan mengenali medan, anak-anak bisa meningkatkan kecerdasan emosi dan sosial serta membentuk karakter yang nyatanya lebih dibutuhkan daripada sekadar menghadap buku mata pelajaran dan mengisi lembar jawab.

Saat bincang-bincang di ruang guru, muncul cerita-cerita lain tentang pola belajar murid-murid kelas 5 ini. Di satu sisi banyak fakta yang menjelaskan kelemahan, namun diimbangi juga dengan keunikan masing-masing siswa. Yang menarik, para guru berhasil mengidentifikasi apa permasalahan yang sedang berlangsung dan membuat berandai-andai metode belajar apa yang cocok.

“Tahun depan pasti akan lebih berat karena mereka sudah kelas 6 SD. Kami para guru akan mendampingi murid benar-benar secara personal. Satu guru akan menemani satu murid,” ujar Bu Dian. “IQ mereka kebanyakan sebenarnya di atas rata-rata, mungkin kami belum menemukan cara yang pas bagi mereka.”

Dengan mengacu sistem pendidikan yang digunakan saat ini, kemampuan murid yang bisa dibaca lewat serangkaian tes IQ justru tidak seirama dengan hasilnya. Kurikulum belum melihat bahwa seharusnya berapa pun IQ-nya, semua murid harus diakomodir. Guru, seperti di Gerakan Sekolah Menyenangkan, menyadari betul bahwa kecerdasan sosial dan emosional menjadi penting untuk melihat peluang model pembelajaran yang sesuai dan dibutuhkan murid.

Pada titik ini tercipta ekosistem belajar yang suportif. Guru tak serta-merta menjadi orang yang paling benar. Mutlak dan tak bisa diganggu gugat. Mereka justru mengolah kemungkinan-kemungkinan belajar yang efektif sekaligus menyenangkan bagi para murid. Sikap kritis guru untuk mengidentifikasi masalah adalah salah satu cara belajar bagi guru. Gerakan Sekolah Menyenangkan sadar bahwa kemauan untuk menciptakan lingkungan belajar yang saling dukung itu penting bagi guru, murid, dan bahkan orang tua.

(Yesa Utomo)


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.