GSM

Setiap manusia lahir dan tumbuh dengan karunia emosi yang beraneka ragam. Ada marah, senang, sedih, bangga, dan berbagai jenis perasaan yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Adapun timbul stigma yang secara tidak sadar menggeneralisasi emosi itu menjadi dua macam, negatif dan positif. Marah dan sedih digolongkan pada emosi negatif, sementara senang dan bangga disebut positif.

Stigma semacam itu kiranya perlu dikembalikan kepada pemahaman yang menyeluruh tentang emosi. Marah, senang, hingga sedih sejatinya merupakan siklus wajar dalam kehidupan. Jika melihat gambar besarnya lagi, justru siklus tersebut yang menjadikan manusia sebagai manusia. Emosi adalah sebuah karunia dan tidak seharusnya ditekan, melainkan diolah dan ditempatkan pada kotak yang tepat.

Kursi tenang (atau dikenal pula dengan time out) menjadi salah satu angin segar yang diperkenalkan Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) untuk menghadapi fenomena ini. Kesadaran mengenai emosi baik untuk diperkenalkan sejak dini – tepatnya ketika anak-anak sedang berproses mengenali diri.

Apa Itu Kursi Tenang?

Secara harafiah, kursi tenang merupakan satu kursi yang disediakan untuk para siswa menenangkan diri. Ada satu sudut di ruang kelas yang memang sudah disiapkan dan ditata sedemikian rupa sehingga menjadi nyaman untuk ditempati. Mereka yang merasa sedih, marah, atau bosan dipersilakan untuk merapat ke sudut tersebut selama lima hingga 15 menit dan mengolah suasana hatinya.

Meski terkesan sederhana, proses penerapan kursi tenang ini tetap butuh proses guna menghindari kesalahpahaman. Metode time out ini bukan merupakan sebuah hukuman, melainkan fasilitas untuk mengolah emosi. Karenanya, sudut tenang tersebut sebaiknya menjadi tempat yang nyaman dan bukan bersifat isolatif atau cenderung mengasingkan siswa. Novi Candra, co-founder GSM, berbagi langkah-langkah dalam penerapan metode time out ini.

Langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengajak anak-anak untuk mengenali emosinya sehingga dalam circle time masing-masing, mereka tahu kapan mereka marah, sebal, bosan, dan sebagainya. Jika sudah mengenali, mereka bisa mulai dikenalkan pada cara menggunakan kursi tenang sehingga mereka tahu kapan mereka butuh menenangkan diri dan bagaimana meredakannya. Ada berbagai cara untuk menenangkan diri yang bisa ditunjukkan, seperti menuliskan perasaan, membicarakan pada seseorang, atau menggambarkannya.

Ketika anak-anak sudah duduk di sudut tenang, guru mengambil peran pada tahap selanjutnya dengan bertanya kepada yang terkait selama beberapa menit. Guru perlu menanyakan apakah anak-anak sudah membaik dan dapat mengikuti pelajaran kembali. Seandainya belum, ia dipersilakan untuk melanjutkan proses mengolah emosinya, namun jika sudah, siswa terkait bisa kembali ke tempat duduk tanpa terbebani.

Bu Novi menambahkan,  perlu dipastikan bahwa setiap anak membutuhkan kursi tenang ini saat circle time, bahkan guru pun boleh duduk di sini ketika butuh ketenangan. Karena sifatnya kebutuhan dan mendorong inisiatif anak, perlu ditanamkan pada kebiasaan anak untuk tidak mengolok-olok saat ada temannya yang duduk di sana. Sebaliknya, jika memungkinkan, mereka yang bisa mengenali emosi dan menggunakan kursi tersebut patut diapresiasi.

Implementasi Time Out

SDN Redjodani merupakan salah satu sekolah model GSM yang sudah mengimplementasikan metode time out ini di ruang kelas. Walau prinsipnya sama, cara yang digunakan ini diberi nama “Kursi Peredam Emosi” oleh para guru. Kepala Sekolah SDN Redjodani, Bu Hatri, ikut berbagi pengalaman tentang adanya perubahan perilaku siswa setelah penerapan ini.

“Dulu tempat kami yang kelas satu itu ada anak yang super sekali, luar biasa aktif ke sana-sini,” ujar Bu Hatri. “Kemudian, kami mencari cara agar anak ini tidak muda emosi dan tetap disenangi oleh teman-temannya. Ada guru yang mengusulkan kursi peredam emosi. Sebelumnya, lebih dulu dibuat kesepakatan, siapa saja nanti yang emosinya meluap, yang mau nakal, sebelum melakukannya harus duduk di situ. Kalau sudah tidak emosi, boleh duduk di tempat teman-teman.”

Menumbuhkan kesadaran untuk mengolah emosi memang butuh waktu yang tidak sedikit. Bu Hatri mengakui perubahan sikap dan kebiasaan itu terjadi sedikit demi sedikit. Namun sejak ada Kursi Peredam Emosi, para siswa yang ingin marah akan menyadarinya dan pelan-pelan bisa menumpahkan emosinya secara teratur. Lebih hebatnya lagi, metode ini turut memicu diskusi dan komunikasi antara guru dan murid. Para guru memancing murid-muridnya untuk bercerita, sementara siswa terkait mengenali diri serta emosinya sendiri.

Pengolahan emosi memang perlu diperkenalkan kepada anak-anak sejak dini. Tidak hanya mengenali gejolak hati, generasi muda bisa memahami siklus bawah sadar yang ada dalam dirinya dan menuangkannya dalam hal yang lebih produktif. Amarah maupun kesedihan perlu dipandang sebagai hal yang wajar, hanya perlu pengolahan yang tepat di tempat dan waktu yang tepat pula.


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.