aringan yang kuat akan memperkokoh sendi-sendi kehidupan. Begitu pula dengan sekolah-sekolah yang saling bersinambung, membentuk karakter pendidikan yang kolaboratif. Lalu bagaimana kebersambungan ini bekerja?
Saya selesai menonton sebuah video yang diunggah Vice di Youtube berjudul “The 16 Year Old Calling Out Global Leaders on Climate Change”. Video itu menceritakan kisah bagaimana Greta Thunberg menginisiasi protes ke pemerintah Swedia karena tak kunjung memperbaiki industrinya yang mencemari lingkungan. Seorang murid sekolah menengah atas yang benar-benar sendiri dalam memulai usahanya, duduk di depan gedung parlemen setiap Jumat, dan membentangkan tulisan “Skolstrejk for Klimatet” (red: absen sekolah untuk (perbaikan) iklim).
“I want people to panic”, katanya dalam sebuah wawancara. Pada 15 Maret 2019, energi Greta menyebar ke seluruh dunia. 1,6 juta anak-anak di 125 negara absen dari kelas-kelas sekolah dan turun ke jalan. Jutaan siswa itu memenuhi gedung-gedung pemerintahan di berbagai negara; Swedia, Prancis, Inggris, Spanyol, Italia, Luksemburg, Islandia, Ukraina, Polandia, Amerika Serikat, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Thailand, Hong Kong, India, Kenya, Afrika Selatan, Australia, Selandia Baru, dan masih banyak lagi. Mereka menyerukan satu tuntutan agar pemerintahan negara masing-masing segera mencari solusi agar Bumi tak semakin memburuk.
Yang menarik bagi saya bukan lah ‘bagaimana’ tetapi ‘mengapa’ jutaan siswa ini menghadiri unjuk rasa? Dan mereka memilih jalan radikal—membolos sekolah, untuk bersama bergerak melakukan demonstrasi. Gerakan yang dibuat oleh murid-murid usia SMP-SMA ini sungguh rapi, dibuktikan dengan hadirnya pengunjuk rasa di berbagai tempat dalam satu waktu. Positifnya, tak terdengar aksi demonstrasi ini berakhir ricuh. Mereka juga terlihat membawa banyak poster-poster dari kertas bekas dan benda-benda lain yang diasosiasikan dengan perdamaian.
Mengapa jaringan yang sifatnya transnasional ini bisa terbentuk dengan baik? Pertama, adanya kebersambungan atau connectedness yang mendasari gerakan murid-murid sekolah ini. Satu poin penting yang bisa dilihat adalah bagaimana pendidikan yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan kondisi nyata. Contohnya, kita selalu diingatkan untuk tidak membuang sampah sembarangan agar lingkungan tak rusak. Hal ini tidak dilihat oleh anak-anak di dalam sistem negara dan industri yang lebih besar. Kesesuaian ini mereka temukan di masing-masing negara tempat tinggal.
Kedua, dengan adanya pola masalah yang sama akan menimbulkan kebutuhan bersama. Kesadaran pentingnya planet Bumi sebagai tempat tinggal masa depan bagi mereka terus menimbulkan upaya untuk merawat bersama. Perspektif ini kemudian mereka amini dengan semangat kolaborasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Ketika sekolah tempat pendidikan diajarkan tak sepenuhnya mencukupi kebutuhan, anak-anak akan terdorong untuk mencarinya di tempat lain—dalam hal ini mendesak pemerintahan masing-masing negara.
Ketiga, terciptanya lingkungan positif yang kreatif. Tempat yang nyaman akan membuat anak-anak betah untuk mengeksplor dirinya dalam massa yang besar. Terlebih kita melihat ini adalah gerakan anak-anak terbesar dalam sepanjang sejarah. Anak-anak yang masih belajar dalam hal emosi dan fungsi sosialnya, mampu meleburkan diri bersama untuk cita-cita yang ingin diraih bersama. Kondisi demikian tidak akan terjadi jika lingkungan menjadi berbahaya dan mengkerdilkan satu sama lain. Jutaan anak-anak di seluruh dunia ini tidak akan tumpah-ruah di jalan jika lingkungan terdekatnya saja tidak suportif.
Sementara itu, kebersambungan antarsekolah atau komunitas juga menjadi poin penting yang ditawarkan Gerakan Sekolah Menyenangkan. Kebersambungan ini juga bersifat setara antara siapa pun pihak yang terlibat di dalamnya. School connectedness ini tidak akan tercipta jika individu yang ada di sekolah masing-masing masih memiliki pandangan yang kompetitif. Dengan semangat yang kreatif, kolaboratif, dan suportif, kita bisa saja melihat Greta-Greta Indonesia di masa depan.
[Yesa Utomo]
sumber foto: newsforkids.net
0 Comments