GSM

Kita buru-buru ingin cepat lulus dari bangku sekolah, menuntaskan program yang dicanangkan pemerintah sebagai wajib belajar 12 tahun. Lantas kita merasa bebas setelah naik ke bangku pendidikan tinggi atau bekerja dan berusaha melupakan semua kisah-kisah kelam pendidikan di sekolah.

Harus diakui bahwa kenangan-kenangan indah soal sekolah dari tingkat SD-SMA jarang memasukkan daftar mata pelajaran—atau yang berkaitan dengan proses pembelajaran, sebagai hal yang menyenangkan. Seolah proses belajar dalam jangka waktu panjang hanya dihargai dengan penghakiman bernama Ujian Nasional selama kurang dari seminggu. Hidup-mati masa depan kita seperti ditentukan dari nilai-nilai yang tertulis di lembar ijazah. Lalu di mana posisi nilai-nilai toleransi, menghargai sesama, tolong-menolong dalam pendidikan kita? Di saat kolom-kolom rapot hanya memuat angka terstandardisasi, di situlah sebenarnya pendidikan kita gagal.

Ilustrasi singkat di atas mengindikasikan keusangan model pendidikan Indonesia saat ini, yang tak lebih hanya kepanjangan tangan neo-kolonialisme semata. Proses belajar justru tak memberikan kemerdekaan berpikir bagi pembelajarnya dan hanya menciptakan sekrup pabrik. Maka tak pelak, yang terjadi adalah proses belajar yang menekan dan mematikan nalar kritisnya.

Sementara itu, bayangan hari-hari depan sangatlah jauh dari apa yang pernah terimajinasikan sebelumnya. Situasi terus berkembang dengan dunia teknologi yang kelak memimpin; kecerdasan artifisial, mesin genetik, realitas virtual, otomatisasi, atau bahkan kehidupan di Mars. Sementara itu, pendidikan di Indonesia tetaplah sama selama puluhan tahun ini. Sistem tetap mempertahankan guru sebagai pusat yang perlu dipatuhi, sementara anak bisa saja mengalihkan perhatiannya ke internet yang memenuhi keinginannya. Nilai tetap saja hal yang menentukan anak berhasil melewati masa pendidikan atau tidak, selagi teknologi masa depan diawali dengan imajinasi liar tak terukur.

Di titik inilah, kita, sebagai generasi muda harus menyadari betapa bahayanya jika Indonesia tak segera melakukan perubahan di sektor pendidikan. Ratusan triliun yang terkucur dari dana APBN terasa tak berguna dengan hasil belajar yang kalah jauh dari negara-negara tetangga. Sementara itu, kita sebagai generasi muda akan menghidupi negeri ini di masa depan dan menanggung segala beban-beban yang belum terpenuhi. Lantas, dengan paradigma pendidikan Indonesia yang selalu salah kaprah, kita tak bisa terus-menerus menaruh harapan pada sistem usang itu.

Perubahan selalu dimungkinkan. Terlebih dengan hadirnya gaung revolusi industri 4.0 yang mengedapankan sifat kolaboratif, letupan kecil bisa saja menggema ke berbagai penjuru. Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) sebagai gerakan akar rumput yang berpihak pada sekolah pinggiran dan marjinal telah memulai perubahan positif. GSM selalu menaruh sifat kolaborasi, inklusif, dan juga pembentukan lingkungan positif yang menyenangkan sekecil apa pun perubahan itu.

[Yesa Utomo]


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.