GSM

Implementasi Permendikbud nomor 51 tahun 2018 tentang penerimaan peserta didik baru semakin ketat tahun ini. Pasalnya, pihak pemerintah dan sekolah telah berkomitmen untuk melaksanakan aturan yang sudah ada sejak 2018 ini dengan prinsip nondiskriminatif, obyektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.

Sistem zonasi untuk pendaftaran peserta didik baru (PPDB) sudah diimplementasikan semenjak 2018 lalu. Sistem ini bertujuan untuk mempercepat layanan dan kualitas pendidikan dan mendekatkan anak dengan lingkungan sekolahnya. Selain itu, aturan tentang zona ini juga akan diperketat dengan persentase penerimaan siswa hingga 90% (termasuk siswa tidak mampu dan difabel), di luar 10% lainnya yang mengakomodir jalur prestasi dan jalur perpindahan orang tua.

Untuk masuk ke kelas 7 SMP, seleksi calon peserta didik dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal ke sekolah dalam zonasi yang ditetapkan. Jarak ini dihitung berdasarkan jarak tempuh dari Kantor Desa/Kelurahan menuju sekolah. Jadi, anak sudah memiliki bayangan akan melanjutkan sekolah di mana. Dengan adanya konsep zona ini, proses seleksi berdasarkan nilai otomatis tidak digunakan. Artinya, kompetisi yang tidak sehat dengan sistem ranking nilai akan hilang. Pemerintah juga berjanji untuk melakukan rotasi guru dan secara perlahan menghilangkan stigma ‘sekolah favorit’ yang lama terpatri di masyarakat. Sistem zonasi ini telah lama diterapkan di berbagai negara seperti Singapura, Jepang, Australia, dan Amerika Serikat.

Realisasi belum lepas dari masalah

Meski demikian, tujuan filosofis sistem zonasi tampaknya belum bisa sepenuhnya terrealisasi dalam waktu dekat. Pasalnya, masalah yang dihadapi di lapangan tidak semudah yang dibayangkan. Di berbagai kota, partisipasi aktif orang tua dalam proses belajar anaknya tidak diimbangi dengan kursi rombongan belajar yang tersedia. Di Kota Cilegon, lulusan SD sebanyak 4.700 siswa dengan daya tampung di 11 SMP negeri hanya 2.336 siswa. Sementara di Kabupaten Karanganyar, orang tua siswa rela menginap di sekolah karena khawatir tidak mendapatkan nomor antrean pendaftaran.

Masalah jarak yang dianggap terlalu jauh terjadi di Kabupaten Indramayu, di mana lulusan SD dari Desa Limpas, Patrol Lor, Mekarsari, Bugel, dan Sukahaji kesulitan untuk masuk SMP Negeri 1 Patrol. Kondisi ini juga terjadi di Kecamatan Anjatan. Lulusan SD dari Desa Cilandak dan CIlandak Lor tidak terakomodasi sistem zonasi di SMP Negeri 1 Anjatan. Mereka juga nyaris tidak bisa diterima di sekolah kecamatan lain karena dianggap blankspot. Dilansir dari Radar Cirebon, seorang wali murid menganggap sistem ini diskriminatif karena anak-anak dari desanya kalah saing hanya karena jarak antara rumah dan sekolah.

Sementara itu, Disdikpora Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) harus ‘melanggar’ aturan dari Kemendikbud karena memperluas cakupan zonasi sistem PPDB untuk tingkat SMA. Orang tua siswa memprotes aturan dari Disdikpora DIY yang mengharuskan satu kelurahan diperuntukkan bagi satu sekolah. Dilansir dari Detik.com, Kepala Disdikpora DIY, Kadarmanta Bagaskara Aji, menjelaskan calon peserta didik merasa kecewa karena sekolah pilihannya tak bisa dituju. Anak-anak juga ada yang merasa minat dan bakatnya tidak bisa diakomodir sekolah tertentu karena tidak bisa diterima. Disdikpora DIY akhirnya mengeluarkan putusan untuk merevisi aturan ini setelah orang tua melapor pada DPRD DIY, Ombudsman RI, dan Lembaga Ombudsman Daerah.

Sistem zonasi ini juga tak lepas dari kecurangan dari orang tua calon peserta didik yang rela mengubah data Kartu Keluarga (KK) supaya anaknya bisa diterima di sekolah tujuan. Dalam jangka panjang, sistem ini bisa mendorong urbanisasi lebih deras lagi. Langkah yang diambil oleh Pemerintahan Kota Surakarta layak mendapatkan apresiasi. Disampaikan langsung oleh Wali Kota Surakarta, F.X. Hadi Rudyatmo, seperti dikutip dari Kumparan, bagi yang ingin melakukan legalisir proses perpindahan, yang bersangkutan wajib hadir langsung dan melalui rangkaian tahapan yang akan disetujui oleh wali kota.

Selain itu, kecurangan bisa terjadi jika sarana dan prasarana antarsekolah tidak sama. Orang tua tentu akan lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah yang memiliki fasilitas lebih lengkap. Sementara itu, dengan kuota yang terbatas, orang tua tidak segan-segan mengeluarkan uang lebih banyak sehingga anaknya diterima di sekolah yang memiliki label favorit.

Jangka panjang sistem zonasi bisa berdampak positif

Poin penting yang layak diapresiasi dari hadirnya peraturan ini adalah mengurangi jarak ketimpangan pendidikan Indonesia. Namun, para pemangku pendidikan tetap harus menaikkan kualitas sumber daya manusia dan infrastukturnya sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah.

Dengan terpangkasnya jarak antara rumah dan sekolah, proses perkembangan sosial bisa terbentuk. Anak-anak akan semakin mengenali lingkungan tempat tinggalnya; sosialisasi pertemanan tidak hanya terbentuk dalam kerangka sekolah. Mengingat masa anak-anak dan remaja adalah titik penting untuk memulai peran sosial dalam masyarakat.

Pendeknya jarak antara sekolah dan rumah juga berdampak baik secara biologis. Anak-anak akan terdorong untuk berjalan kaki dan bersepeda. Aktivitas fisik ini lebih dibutuhkan oleh tumbuh kembang anak-anak sehingga kapasitas otak dan masuknya oksigen dalam tubuh menjadi lebih maksimal.

Di tataran yang lebih sistemik, pemerintah juga perlu memperhatikan potensi hilangnya hak calon peserta didik untuk menerima pendidikan di sekolah negeri. Secara singkat, pemerintah perlu juga berkolaborasi dengan yayasan pendidikan swasta untuk mendorong peningkatan kualitas. Kolaborasi yang terjalin ini akan membentuk kesinambungan yang baik antarsekolah dan menumbuhkan semangat saling berbagi.

Kolaborasi juga bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan nonsekolah. Penciptaan ekosistem yang positif dengan banyak organisasi yang bekerja di bidang literasi, kebudayaan dan kesenian, maupun sekolah nonformal sebenarnya bisa segera dilakukan. Dengan terjalinnya simpul kolaborasi—di mana semua pihak mengambil peran, akan menciptakan ekosistem suportif. Gerakan Sekolah Menyenangkan telah memulainya dan dengan semakin banyak dan beragam kelompok yang mengupayakan pendidikan inklusif, tidak butuh waktu lama bagi Indonesia menemukan generasi emasnya.

[Yesa Utomo]


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.