GSM

Dalam beberapa tahun belakangan, wacana revolusi industri 4.0 terus tergaung di tengah masyarakat kita. Fenomena sosial yang memberikan awareness akan tantangan nyata di masa depan. Revolusi industri 4.0 akan memaksimalkan penggunaan teknologi di berbagai bidang karena dianggap lebih praktis, efisien, dan dianggap lebih murah jika dibanding tenaga kerja manusia. Soalnya, revolusi ini bergerak sangat cepat dan meninggalkan siapa pun yang tak adaptif dengannya. Tantangan yang muncul kemudian adalah hilangnya berbagai lapangan pekerjaan karena digantikan oleh artificial intelligence (AI). Orang yang telah bekerja di bidang yang sama selama 20 tahun terakhir bisa saja besok menganggur dan harus mencari pekerjaan lain. Menurut studi yang dilakukan oleh Oxford University, 47% pekerjaan di 25 tahun mendatang akan hilang; termasuk pekerjaan kerah putih dan biru.

Mekanisasi dan penggunaan AI di berbagai bidang ini tidak menentukan tanggal pasti kapan mulai digunakan. Sehingga, banyak negara tak memiliki banyak waktu untuk bersiap-siap. Satu-satunya cara untuk mengejar ketertinggal ini hanyalah mempercepat perubahan di segala lini agar tak kolaps dengan tantangan zaman. Era di mana kecepatan menjadi poin signifikan turut mengubah gerak dalam struktur masyarakat. Hal ini membuat policy making tak selalu dari atas ke bawah. Justru terbalik, birokrasi sebagai pembuat kebijakan kini yang merespons segala sesuatu yang terjadi di masyarakat. Tak heran juga, birokrat termasuk dalam salah satu daftar pekerjaan yang akan hilang menurut studi oleh Oxford University tadi.

Kecepatan ini juga jadi salah satu prasyarat untuk fleksibel dan adaptif dengan kondisi masyarakat saat ini. Pendidikan menjadi salah satu hacking system bagi permasalahan global seperti ini. Sekolah sebagai arena pendidikan harus mampu menawarkan optimisme di tengah ancaman-ancaman masa depan. Pendidikan masa kini seharusnya menciptakan individu yang relevan dengan masa depan. Relevansi itu bisa dicapai ketika individu tak takut untuk reinventing (menemukan kembali) dirinya, sehingga bakat, kompetensi, dan skill akan beradaptasi dengan sendirinya.

Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) turut aktif dalam penciptaan kultur pendidikan yang adaptif dengan perubahan zaman. Salah satu langkah awal yang akan ditempuh adalah perubahan paradigma pendidikan Indonesia yang sudah using dan tak mampu diajak berlari dengan kebutuhan era. Guru sebagai ujung tombak pendidikan harus mengubah cara belajar yang selama ini tidak memerdekakan para muridnya dalam berpikir karena semata-mata hanya mengasah daya ingat sebagai kompetensi kognitif level bawah.

Selain itu, guna menempuh perubahan pendidikan yang signifikan, diperlukan pola pembelajaran yang melatih keterampilan fokus dan keseimbangan emosional. Keterampilan fokus dapat membantu pembelajar untuk memilih sesuatu sesuai dengan kompetensi dan bakatnya secara berjenjang dari tahap awal hingga akhir. Sementara keseimbangan emosional berperan penting dalam menjaga ketahanan mental di tengah perubahan-perubahan sosial. Dua hal ini akan mendorong manusia untuk bekerja melebihi batas stresnya. Rasa optimisme ini akan menempatkan manusia pada relevansi di dalam dunia global yang semakin tidak relevan.

[Yesa Utomo]


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.