GSM

Saat menyambut kedatangan kami dan membuka acara di Tebuireng, Gus Sholahudin Wahid bercerita tentang kegelisahan beliau akan kondisi pendidikan Indonesia saat ini, terkhusus juga di Pesantren.

Sejak sistem pendidikan nasional diterapkan di sekolah bawah naungan pesantren, justru fenomena mengkhawatirkan muncul. Para santri sering kelelahan mengikuti sejumlah aktivitas belajar dan nampak kurang bergairah dalam belajar. Belum lagi, problem perilaku yang biasa muncul di pesantren seperti kehilangan barang dan sebagainya.

Guru-guru di pesantren yang seharusnya fokus pasa akhlakul karimah para santrinya, menjadi berubah haluan dan terlalu fokus ke capaian akademik yang melelahkan. Padahal, Gus Sholah sendiri sadar bahwa bekal paling utama bagi para santri zaman ini bukan akademik dan bukan sekadar hapalan surat, melainkan karakter positif sebagai hasil pemaknaan surat-surat dalam Al Qur’an.

Kegelisahan beliau akan pendidikan sering beliau bagikan bahkan pada orang pertama negeri ini, Presiden Jokowi, namun beliau sendiri merasa belum menemukan jawabnya. Sampai suatu saat, beliau membaca harian Kompas tentang Gerakan Sekolah Menyenangkan dan akhirnya melakukan riset mengenai hal ini sampai beliau memiliki pemikiran bahwa pendekatan GSM mampu memecah kebuntuan yang ada di pendidikan Indonesia.

Pendekatan GSM dengan kekuatan filantropis gotong royong, paradigma yang berfokus pada kekuatan anak-anak dalam membangun karakter, dan perspektif bahwa akademik adalah dampak bukan tujuan, mendorong Gus Sholah menulis sendiri surat undangan kepada kami untuk berkolaborasi melakukan perubahan pendidikan di lingkungan pesantren Tebuireng.

Dan betul apa yang beliau katakan, pada hari pertama kami berdialog bersama para guru, akhirnya sebagian besar diisi dengan fokus perubahan mindsetBahwa sebenarnya pesantren sebagai sebuah bentuk pendidikan akar rumput harus kembali pada khittah-nya, yakni mengutamakan lahirnya generasi yang berakhlak dan berbudi pekerti.

Pesantren juga perlu beradaptasi tanpa harus kehilangan jati dirinya.

By Novi Candra, co-founder Gerakan Sekolah Menyenangkan


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.