Banyaknya pertanyaan yang muncul saat sesi perubahan paradigma di Tebuireng menandakan bahwa para guru mulai membuka ruang untuk memikirkan dan mendiskusikan paradigma baru.
Sudah banyak yang menerima, namun masih ada juga yang masih ingin mencari tahu.
Sampai pada sesi penciptaan lingkungan, beberapa guru bersaksi, “Wahhh, saya sekarang sangat paham bagaimana GSM meyakini sebuah pendekatan bahwa siswa dapat disiplin tanpa ditakut-takuti dan belajar tanpa dipaksa, juga peduli tanpa pamrih.”
Padahal, kami baru sampai pada tahap rekayasa penciptaan lingkungan dengan pelibatan siswa (yang notabene masih level pertama).
Begitu sesi ini selesai, beberapa guru mendatangi saya dan mengakui mulai jatuh cinta pada GSM. Apalagi setelah mereka tahu bahwa di workshop GSM, kami sangat peduli dengan cara peserta menata sepatu, bagaimana peserta antri, tata cara bertanya, berpindah tempat, dan bagaimana peserta saling mengucapkan terima kasih serta bentuk penghargaan lain. Hal-hal semacam ini ternyata justru jarang ditemui di worlshop guru yang lain.
Di saat mereka mulai ‘naksir ‘ konsep GSM, materi kedua (yang bicara tentang literasi manusia lewat cara kerja otak) membuat para guru semakin yakin bahwa pola pendidikan dan pembelajaran konvensional yang selama ini dianut tidak sesuai dengan kodrat manusia untuk meningkatkan kapasitas pikir, apalagi mengelola perilaku (karakter).
Di GSM, guru-guru dilatih memahami manusia, bukan kurikulum. Saya teringat kata kata Jaeza (putri kedua saya), bahwa guru guru di Indonesia tak memahami anak didiknya karena mereka sibuk mengejar materi. Ya tentu saja, karena mereka tak pernah paham bagaimana manusia bekerja. Di GSM kami memberikannya sehingga guru memiliki platform untuk menciptakan pembelajaran yang menstimulasi akal pikir tingkat tinggi dan karakter.
Kemudian pada sesi praktek penumbuhan karakter melalui olah pikir, di situlah saya kembali mengelus dada akan terbukanya banyak kasus perilaku yang selama ini disepelekan dan tidak diindahkan karena tertutup nilai-nilai akademik yang semu.
Di akhir hari kedua, pesantren ini berkomitmen untuk mencoba menyelesaikan permasalahan perilaku yang sering ada di pesantren, yakni hilangnya barang-barang, kebersihan, dan saling menghargai.
Mulai hari itu, para guru bertekad untuk ‘membalik’ dan mengubah arah pendidikannya pada karakter, bukan pada nilai akademik.
By Novi Candra, co-founder Gerakan Sekolah Menyenangkan
Tebuireng, 20-22 Desember 2018
0 Comments