GSM

Dalam diskusi pendidikan dengan tema “Berpikir Kritis dalam Sistem Pendidikan Dasar” yang diselenggarakan Harian Kompas bersama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Selasa (30/04) lalu, di Semarang, Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) turut aktif dalam upaya penyelenggaraan sikap berpikir kritis di tingkat pendidikan dasar.

Bincang-bincang ini dihadiri oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Salatiga Yuni Ambarwati; guru berprestasi asal SD N Deresan, Nur Fitriana—yang juga guru berprestasi; pendiri Sanggar Anak Alam Yogyakarta, Sri Wahyaningsih; dan Ketua Program Studi Pendidikan Guru SD UKSW, Mawardi. Selain itu, GSM yang diwaikili oleh guru SD Muhammadiyah Mantaran, Dhian Yulia Krishantari terlibat sebagai penanggap aktif.

Diskusi itu dimulai dengan pemaparan tantangan zaman saat ini yang menginjak revolusi industri 4.0. Semangat ini berpotensi menjadi batu sandungan besar mengingat daya saing manusia bisa segera tergantikan oleh teknologi. Pasalnya, sistem yang diselenggarakan di pendidikan dasar masih saja sama dan tidak adaptif dengan era saat ini. Standardisasi masih menjadi problem besar yang bermuara pada kompetisi tidak sehat karena menuntut peserta didik memenuhi syarat kelulusan berupa angka. Padahal, salah satu ciri dari revolusi industri 4.0 adalah adanya sistem kolaborasi yang memungkinkan akomodasi terhadap keunikan seseorang. Sebagai contoh, ojek online tidak menyediakan alat transportasi sebagai aset perusahaan. Kendaraan angkutan justru disediakan oleh masing-masing individu yang menjadi rekan perusahaan. Dengan bentuk seperti ini, sistem pengupahan sangat berbeda dibanding perusahaan transportasi konvensional yang terkontrol ketat dari pemilik perusahaan.

Untuk menanggapi potensi tantangan yang dihadirkan teknologi terbaru ini, dibutuhkan pendidikan kritis yang bisa dimulai sejak dini. Dilansir dari Kompas, tradisi berpikir kritis ini bisa dimulai dengan tidak menjadikan guru sebagai pusat dari seluruh bergeraknya kegiatan belajar. Alih-alih menjadi subyek yang berposisi serba tahu, bentuk pengajaran bisa dimulai dengan menjadikan guru sebagai fasilitator. Dengan demikian, pemahaman guru mesti dibongkar. Guru dituntut aktif untuk mendorong para murid mencari tahu sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dengan cara seperti ini, murid akan dihadapkan dengan banyak perbedaan dari teman-temannya—bahwa setiap individu memiliki keunikannya masing-masing. Sebagai fasilitator, guru bisa mengarahkan pembelajaran dengan sifat kolaboratif. Lebih jauh, bentuk kolaboratif ini memungkinkan anak mampu menganalisis fenomena secara kritis dan menimbulkan inisiatif.

Penerapan model belajar kolaboratif ini telah dimulai di beberapa sekolah meski tidak masif. Masalahnya, bila diselenggarakan secara parsial, kesempatan peserta didik untuk menikmati pendidikan kolaboratif menjadi tidak inklusif. Untuk itu, GSM juga turut aktif mengupayakan pola belajar kritis dan kolaboratif ini. Model ini juga didukung dengan sistem sharing yang dilakukan oleh sekolah model GSM.

Dhian Yulia Krishantari sebagai guru di salah satu sekolah model GSM memaparkan bila sekolahnya kini memandang proses sebagai nilai penting daripada hasil. Kolaborasi tidak hanya milik guru dan murid saja, tetapi juga berdampak bagi orang tua yang ikut juga membentuk sikap baik pada anak—tidak sekadar menitipkan anaknya pada guru. Dengan adanya GSM di berbagai daerah, dapat memungkinkan para guru untuk saling berbagi semangat kolaboratif dan kritis. Hal ini membuat sekolah sebagai fasilitas pendidikan tidak terjebak pada lingkungan kompetitif yang negatif dan menjebak.

[Yesa Utomo]


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.