GSM

40 Tahun lalu tepat hari ini 2 Juli aku dilahirkan dari sepasang suami istri, sang suami berprofesi sebagai guru sekolah dasar, dan sang istri ibu rumah tangga, yang serabutan juga dengan berjualan di rumah. Beliau Pa’e sosok seorang ayah yang gigih dan tak kenal lelah dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala keluarga. Sehabis subuh berangkat kesawah sampai menjelang matahari mulai tersenyum, kemudian pulang dan bersiap ke sekolah untuk menjalankan tugasnya yaitu sebagai pendidik di sekolah dasar, pun pulang sekolah, sorenya juga kesawah lagi. Sosok Ayah dengan kerja kerasnya menjadi panutan bagi saya, Semoga Pa’e damai di sana, dilapangkan alam kuburnya, diampuni segala dosa dan diterima amal kebaikannya. Emak… wanita perkasa versi ku, tak hanya pikiran, tetapi juga tenaganya kadang melebihi kuasa lelaki, segala pekerjaan mampu dipikulnya. Semoga sehat selalu ya Mak. Do’akan anakmu mampu memberi manfaat bagi sesama.

Sehabis lulus kuliah di Pendidikan Teknik Mesin Unnes 2005 silam, aku langsung mendaftarkan diri sebagai tenaga pendidik di sekolah swasta di daerahku. SMK Nusantara menjadi tempat pengalaman bekerja sebagai pendidik, letaknya di desa Kuwaron, Kecamatan Gubug sana. Tepat setahun aku mengajar di sana, tahun berikutnya berpindah memboyong keluarga kecilku ke Ambarawa, karena istri diberi tugas negara menjadi abdi negara di Jambu, Kab. Semarang. Akupun tak banyak pilihan, langsung menuju salah satu SMK Swasta di Salatiga untuk mendaftar sebagai tenaga pendidik, tepatnya SMK SARASWATI Salatiga, almamater waktu aku sekolah SMK. Pengalaman mengajar di sana selama 8 tahun kujalani seperti biasa, tidak ada hal yang menonjol.

Tahun 2014, adalah titik awal untuk menjadikan aku abdi negara di SMK Negeri 1 Jambu. Semua berjalan tanpa sebuah rencana pasti sampai bekerja di dekatkan dengan rumah tinggalku. 14 tahun berprofesi sebagai guru, belajar dan mengajar selama itu juga manambah pengalamanku dalam menjalankan profesi ini. Tetapi hanya sekedar meyakini dan menjalani bahwa mengajar adalah tugasku, berangkat pagi, menjalankan tugas mengajar, menyampaikan materi, dan sebagainya, normatif sebagai seorang pendidik umumnya, yang tiap tanggal tertentu akan mendapatkan gajian yang ditunggu selama sebulan. Jika ada pertanyaan, mengapa mau jadi guru? sebenarnya bukan sebuah rencana atau cita-citaku, bahkan saat kecil dulu ditanya guru SD ku Pak Gathot namanya, semoga Alloh menerima amal kebaikannya, aku menjawab ingin menjadi seperti Pak Habibie.

Jadi guru bukanlah sebuah cita-cita yang diimpikan pada awalnya, namun darah pendidik dari Pa’e mengalir dalam darahku. Ketika guru SMK ku mendaftarkan diri ini ke UNNES lewat jalur PMDK saat itu, aku juga belum menyadari akan menjadi seorang guru karena kuliah di kependidikan, karena semua di urus olegh guruku, Pak Mardi, terimakasih Pak atas bantuannya mendaftarkanku kuliah dan akhirnya diterima lewat jalur PMDK. Jadi menjalani profesi sebagai guru adalah jalan karena pendidikanku mengarahkan ke profesi tersebut. Lama-kelamaan dan tahun berganti, pengalaman pedagogic bertambah, menjadikanku semakin menyukai dan meresapi profesi ini untuk aku jalani. Tapi, setelah sekian tahun, mungkin sekitar 14 tahun rasanya jawaban itu nggak cukup jika ada pertanyaan yang sama, mengapa mau menjadi guru.

Sebagai seorang pendidik nggak cuma hanya mendidik sebagai rutinitas saja, dan mendapatkan gaji tiap bulannya. Nggak cukup mentransfer ilmu pengetahuan setiap harinya dan memberi nilai berupa angka-angka dalam raport saja. Ada sesuatu yang kurang dan tidak memiliki ruh, jika melihat berita-berita pengangguran terbesar disokong oleh lulusan SMK. Banyak siswa SMK yang kurang kompeten di dunia usaha dan industri, dan dengan suara yang hampir sama, dunia industri mengeluhkan kurangnya lulusan yang berkarakter. Menjadi kegelisahan, dan renungan, sudah tahu kuncinya, tetapi masih belum memahami dan menemukan harus bagaimana sebagai pendidik membekali anak-anak agar bisa sesuai expektasi dunia usaha dan dunia industri.

Sampai di tahun 2019 aku dipertemukan dengan GSM (Gerakan Sekolah Menyenangkan), yang ketika itu sekolahku dipilih menjadi salah satu piloting sekolah untuk menerapkan GSM ini. Diawali dengan berkunjung ke Sleman Jogjakarta, melihat sekolah yang menerapkan GSM ini, di sanalah diperlihatkan sebuah ekosistem sekolah yang benar-benar berbeda dari kebanyakan sekolah, meski letaknya di sebuah desa pinggiran tetapi nuansa iklim belajar yang nyaman dan kondusif bisa dirasakan, anak-anak belajar dengan suka ria, wajah mereka nampak begitu menikmati belajar meski kelihatan seakan-akan sedang bermain dan bergembira. Ah… aku aja yang dewasa merasakan nyaman dan senang belajar disana, ya.. di SD Rejodani 2 namanya.

Pengalaman melihat ekosistem belajar yang berbeda tadi berlanjut di Semarang ketika kami mengikuti workshop GSM untuk pertama kalinya. Workshop yang berbeda menurutku dari sekian workshop yang pernah aku ikuti. Tidak ada tagihan-tagihan penugasan, duduk di lantai bersama, diawali dengan bermain main layaknya anak kecil dengan ice breakingnya, benar-benar suasana workshop yang santai. Nah terjawablah, semua yang terpikirkan, kegelisahaan terhadap dunia pendidikan, kegelisahan sebagai pendidik, keterpanaan terhadap suasana sekolah di sleman. Semua terjawab saat Bapak Prof. M. Nur Rizal sebagai founder GSM memaparkan materi, tentang permasalahan pendidikan di Indonesia, tentang kondisi sistem pendidikan yang hasilnya tak sebanding dengan anggaran yang digelontorkan, tentang mindset stakeholder yang melenceng dari filosofi yang dibawa oleh Bapak Pendidikan kita Ki Hajar Dewantara, pendidikan yang seakan hanya berupa komoditi politik, pendidikan yang seakan mulai meninggalkan kodrat-kodrat manusia, pendidikan yang mengarah pada kapitalisasi dan tak memanusiakan, meski semua upaya pemerintah sebenarnya juga mengarah pada tujuan pendidikan nasional, tetapi seakan ada pemisah pemahaman antara pembuat kebijakan dengan operator di lapangan.

Pasca kegiatan tersebut, jika ada pertanyaan lagi, mengapa mau menjadi guru, maka dengan mantab aku menjawab “karena aku ingin melahirkan generasi penerus bangsa yang mampu berdaya dan berguna, tidak hanya sebatas penggugur tugas dan kewajiban, jauh lebih dari itu, menjadi guru agar diri ini adanya di dunia ini lebih bermanfaat bagi sesama dan generasi bangsa”. Guru begitu besar perannya dalam pembangunan bangsa ini, jika guru tak memiliki gairah, tak memiliki visi, tak memiliki ruh pendidik, tak memiliki misi jangka panjang, maka tiang bangsa ini tidaklah akan kokoh menopang bangunan besar Bangsa Indonesia. Aku sadar, bahwa profesi mulia ini tak cukup dijalankan dengan biasa-biasa saja. Hanya rutinitas harian dan mendapatkan gaji bulanan, tak ada gerakan untuk mau berubah, merubah dirinya sebelum merubah anak didiknya. Masa depan bangsa ada ditangan para guru, untuk itulah aku harus mengubah alasan mengapa aku mau menjadi guru.

Berbasis semangat baru dalam menjalani profesi ini, sejak saat itu mulai berubah motivasi aku dalam mengajar, dan tentunya caranya juga harus berubah, tidak lagi berorientasi pengetahuan dan diganjar dengan nilai berupa angka-angka saja. Lebih besar dari itu, harus mampu memantik dan memfasilitasi tumbuhnya kodrat dasar anak didik dan memberikan keterampilan bagi anak didik agar mampu menjawab tantangan abad 21. Tidak hanya berbekal pengetahuan dan keterampilan teknis saja, lebih penting dari itu keterampilan abad 21 yang orang mengatakan 4C ada juga yang menyatakan 6C, dalam realisasi teknisnya aku menjadi lebih bisa berempati terhadap anak didiktidak hanya berfokus pada penyelesaian kurikulum tapi juga memberi pemahaman dan pengalaman belajar untuk berlatih berpikir dan merasakan terlibat langsung dalam menentukan tujuan belajarnya. Mengajak anak didik ikut serta dalam proses belajar dari awal sampai akhir berupa evaluasi yang tidak hanya sekedar mengukur pengetahuan saja. Tetapi evaluasi yang mengukur cara berpikir dan kemampuan berpikir anak didik. 

Dalam merefleksikan akhir tahun pembelajaran anak didik memberikan point kredit kelebihan dan kekurangan aku dalam mengajar mereka. Kegiatan semacam ini tidak pernah aku lakukan sebelumnya, sebelum aku berjumpa dengan GSM. Selain memberi kesempatan anak-anak bersuara dengan jujur, juga menjadikan evaluasi diri ini agar kekuarangan yang ada untuk bisa diperbaiki ditahun berikutnya. Dan yang lebih penting dari itu, perasaan guru dan murid serasa tidak jauh terpisahkan oleh jarak, terasa lebih dekat dalam ekosistem pembelajaran.

Berubah... kata pertama dari semboyan GSM, sebuah kata yang memantik aku saat melihat sistem pendidikan dan menajdi kegelisahan, tidak hanya menyalahkan, tidak hanya menggerutu, tetapi diri ini harus mengawali dengan berubah, meski melakukan perubahan itu adalah hal-hal kecil, tetapi itu lebih bermakna ketimbang hanya selalu menyalahkan keadaan. Aku tak menyangka perubahan-perubahan kecil bisa berdampak begitu besar bagi peserta didik, bagi lingkungan dan bagi pemaknaan profesiku. 

Berbagi…dari pengalaman yang telah aku lakukan, dan dengan prinsip diri ini harus bisa memberi manfaat seluas-luasnya, dibukakanlah pintu-pintu untuk saya berbagi dengan rekan-rekan sejawat lainya, mulai dari Sekolah Dasar, SMP, SMA, dan tentunya SMK yang menjadi rumah besar ku untuk berbagi. Pintu berbagi semakin terbuka lewar manakala GSM memfasilitasi guru-guru untuk berbagi, baik secara daring maupun luring, kesempatan itu dibuka lebar oleh GSM, sampai membawa diri ini berbagi dengan Kepala Sekolah peserta workshop GSM di Jogja, di Papua, dan beebrapa SMK di Jawa. Tidak menjadikan diri ini berhenti untu selalu menambah pengalaman belajar, sebagai pendidik sebagai pengajar yang mau mengajar, maka tidak boleh berhenti belajar jika akan mengajar. Belajar mandiri, belajar sepanjang hayat, belajar bersama komunitas, tumbuh bersama demi pendidikan yang lebih memanusiakan dan memerdekan adalah keniscayaan untuk melakukan KOLABORASI dalam misi suci mencerdaskan kehidupan bangsa. Terimakasih Pa’e, Emak, Ummi, Anak-anakku, GSM, dan orang-orang baik yang telah memberikan arti hidup untuk selalu bermanfaat bagi sesama di usia 40 tahunku

Salam BERUBAH, BERBAGI, BERKOLABORASI.

Penulis: Pak Ali Sodikin, guru penggerak GSM

Tulisan ini lebih dulu dimuat dalam blog pribadi Pak Ali pada link berikut: https://abuabid1981.blogspot.com/2021/07/jalanku-menjadi-pendidik.html


2 Comments

Megi Setiawan · August 21, 2021 at 2:57 am

terimaksih sudah menginspirasi

    admin-konten · September 20, 2021 at 1:15 am

    sama-sama kak! semangat untuk berubah, berbagi dan berkolaborasi! 🙂

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.