Keadaan psikologis yang terjadi pada siswa sekolah regular dan santri di pesantren tentunya akan menunjukkan dinamika yang berbeda. Pada banyak penelitian, santri pesantren ditemukan rentan mengalami stress karena para santri dihadapkan pada stresor berupa peraturan-peraturan yang ketat, keadaan yang mengharuskan terpisah dengan keluarga, materi pelajaran yang banyak, dan juga jadwal kegiatan yang padat.
Menjadikan pesantren menjadi institusi pendidikan yang menyenangkan dan membuat santri bahagia adalah salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh Gus Solah dalam sambutannya untuk membuka workshop Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) pada hari Selasa (25/6) lalu. Workshop ini dilakukan selama tiga hari di Tebuireng dan diikuti oleh 140 guru, kepala sekolah, dan juga pimpinan pondok pesantren.
“Pendidikan di Indonesia saat ini masih sangat berorientasi pada akademik saja, baik di sekolah maupun pondok sehingga anak-anak banyak yang tertekan dan tidak bahagia,” ujar Salahuddin Wahid, atau biasa disapa Gus Solah, pada kesempatan tersebut.
Apa yang diungkapkan oleh Gus Solah sejalan dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Juniati (2017) di sebuah pondok pesantren di Kudus yang menunjukkan bahwa sebanyak satu responden mengalami stres berat, 38 responden mengalami stres sedang dan 29 responden mengalami stres ringan. Ini menyebabkan adanya urgensi untuk melakukan transformasi dan modernisasi dalam ekosistem pembelajaran yang ada di pesantren-pesantren di Indonesia.
Transformasi tersebut sudah dimulai di Tebuireng dengan kegiatan workshop GSM tersebut. Hal ini dilakukan agar para tenaga pendidik baik di sekolah maupun di pondok pesantren, memiliki pemahaman dan kompetensi mengenai bagaimana menjadikan pendidikan tidak sebatas berorientasi pada nilai akademik tapi juga mampu memfasilitasi santri agar memiliki daya juang yang tinggi sehingga mereka mampu menghadapi tantangan masa depan.
Dengan pemahaman yang sama terhadap bagaimana GSM bekerja, diharapkan guru dan tenaga pendidik di Tebuireng dapat mendukung terciptanya pendidikan yang bermutu, yang membuat siswa dan para santri kecanduan belajar. Dan yang terpenting, GSM mendukung terciptanya ekosistem pendidikan yang memanusiakan dan membahagiakan.
“Modernitas pesantren memang harus segera dimulai, masyarakat masih memandang pesantren sebagai institusi pendidikan yang kaku padahal pendidikan seharusnya cair dan memberikan kesempatan pada siswa untuk mampu berpikir kritis, kreatif dan kompleks,” tandas Muhammad Nur Rizal, pendiri GSM, dalam menanggapi sambutan yang diberikan Gus Solah.
Pemikiran bahwa pesantren adalah institusi yang kaku ini juga menyebabkan masyarakat berpikir bahwa santri tidak bisa bersaing dengan siswa yang tidak tinggal di pondok. Padahal justru inilah kekuatan dari para santri yang seharusnya bisa lebih memiliki daya juang yang tinggi karena sudah terbiasa hidup mandiri di pondok. Dan potensi-pontensi inilah yang berusaha dieksplor dalam workshop GSM di Tebuireng sehingga pada siswa dan santri mampu bersaing di era industri 4.0.
[Putri Nabhan]
Referensi :
Juniati, Ayu Safitri. (2017). Hubungan Tingkat Stres Dengan Strategi Koping yang Digunakan pada Santri Remaja di Pondok Pesantren Nurul Alamiah Kudus. Kudus : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STIKES Cendikia Utama.
0 Comments