Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Rapor Pendidikan Indonesia yang berisi mengenai Hasil Asesmen Nasional telah diumumkan. Asesmen Nasional ini mencakup 3 poin pembahasan seperti Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar. Namun, Rapor Pendidikan Indonesia ini cukup menjadi isu yang hangat karena rapor ini terindikasi sebagai rapor merah bagi pendidikan Indonesia.
Dicap sebagai rapor merah bukan tanpa sebab. Hal ini dikarenakan bahwa salah satu dari poin pembahasan yang terdapat dalam Hasil Asesmen Nasional yang salah satunya adalah Survei Lingkungan Belajar. Survei Lingkungan Belajar tersebut menunjukkan rapor merah yang memperlihatkan bahwa sekolah masih menjadi tempat yang kurang aman bagi peserta didik. Hal ini terlihat dari banyaknya kasus perundungan yang terjadi bahkan kekerasan seksual menjadi momok yang menakutkan bagi siswa. Di antaranya terdapat 24,4% siswa pernah mengalami perundungan di satuan pendidikan. Sementara untuk kasus kekerasan seksual sendiri berada pada rentang 22,4%.
Hal ini menandakan bahwa pendidikan karakter yang digaungkan di sekolah masih belum cukup mampu dalam mengatasi bahkan mencegah perilaku anak yang bebas tersebut. Hal Ini dikarenakan bahwa pendidikan karakter di sekolah masih sering dianggap sebagai kata – kata yang manis tanpa adanya contoh sedikitpun. Hal ini membuat pendidikan karakter tak lebih hanyalah sebuah slogan yang penuh akan kata – kata kiasan yang tak bermakna.
Bu Shinta, salah satu guru Komunitas GSM, tidak mau seperti itu. Hal ini membuat Bu Shinta harus merubah lingkungan sekolahnya menjadi sekolah yang memiliki citra positif termasuk dari segi karakteristik siswanya. Jauh sebelum SD Negeri Karangmloko 2 menjadi sekolah model, karakteristik siswa – siswinya sangat memprihatinkan. Hal ini dikarenakan banyak siswanya yang sering berkata – kata kasar, suka main tangan, dan acuh tak acuh dalam melihat situasi sekitar. Namun, tentu Bu Shinta tak bisa tinggal diam dalam melihat perilaku anak didiknya. Sehingga hal ini akhirnya memantik Bu Shinta untuk membuat anak didik berubah.
Bu Shinta menerapkan zona emosi, melaksanakan pagi berbagi, melaksanakan social emotional learning, dan mengajak anak untuk memecahkan permasalahan yang ada di lingkungan. Hal ini bertujuan untuk mengolah rasa yang ada dalam diri anak sehingga anak – anak akan berperilaku secara normatif. Semua program yang disebutkan tadi adalah program yang ditemukan setelah sekolah mengenal GSM. Bu Shinta tidak menampik bahwa dulu sebelum SD N Karangmloko 2 ini belum mengenal GSM memang sudah ada program pembiasaan. Namun, program pembiasaan ini hanya sebatas tulisan yang tidak ada realisasinya sama sekali.
Semua usaha yang telah dilakukan oleh Bu Shinta bersama rekan sejawatnya pada akhirnya membuahkan hasil. Hal ini terlihat dari pengamatan pribadinya akan anak didiknya yang mulai perlahan – lahan berubah menjadi lebih baik. Anak didiknya terbiasa untuk menjadi anak yang baik, membantu gurunya ketika kesulitan, dan menghormatinya.
Ketangguhan yang terlihat dalam cerita Bu Shinta dalam membuat pembelajaran yang menyenangkan patut diapresiasi. Bu Shinta berharap agar rekan guru yang lainnya di seluruh Indonesia dapat menerapkan praktik baik yang mampu membuat pembelajaran menjadi lebih memanusiakan manusia dan menuntun mereka menjadi manusia yang utuh.
Salam Berubah, Berbagi, dan Berkolaborasi!
Penulis: I Putu Wisnu Saputra
0 Comments