Seperti yang kita ketahui bersama, belakangan ini santer terdengar kasus Klitih kembali terjadi di Yogyakarta. Kasus tersebut pun kembali memakan korban jiwa. Mirisnya, para pelaku kejahatan tersebut didominasi oleh anak – anak yang diketahui merupakan para pelajar juga. Kota yang dijuluki sebagai kota pelajar ini memang sudah tak asing dengan fenomena klitih. Berdasarkan catatan kasus kejahatan yang ada di Yogyakarta, kasus kejahatan Klitih ini bukan termasuk kasus kejahatan baru, tetapi sudah ada sejak lama.
Kapolda DIY Inspektur Jendral Polisi (Irjen Pol) Asep Suhandar menyatakan setidaknya terdapat 40 kasus yang dikategorikan sebagai kasus klitih pada tahun 2019 dan awal tahun 2020. Dari 40 kasus tersebut, sekitar 70 persen pelakunya ialah anak – anak di bawah umur dan lebih mirisnya lagi adalah para pelajar.
Salah seorang sosiolog kriminal dari Universitas Gadjah Mada (UGM), yaitu Pak Suprapto melihat bahwa sebenarnya kasus klitih ini memiliki banyak layers. Bisa jadi, remaja melakukan klitih karena ingin menunjukkan eksistensinya di masyarakat. Atau bisa juga karena mendapat pengaruh dari kelompok yang lebih berkuasa, sehingga remaja dijadikan medium untuk melakukan tindak kejahatan.
Lalu bagaimana tanggapan pemerintah terkait kasus ini? Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X memaparkan bahwa saat ini penyusunan Peraturan Gubernur tentang pencegahan klitih sedang direncanakan. Peraturan tersebut nantinya berfokus pada ketahanan keluarga dan pembentukan kelompok yang dibarengi dengan bimbingan dari psikolog keluarga langsung.
Sementara itu, bagaimana dengan peran sekolah? Menurut Pak Muhammad Nur Rizal, Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan, ekosistem pendidikan perlu diubah agar setiap anak merasa punya harga diri dan eksistensi sehingga mereka tidak perlu melakukan kejahatan untuk mendapatkan pengakuan. Kalau menurut Bapak dan Ibu bagaimana?
Salam Berubah, Berbagi, dan Berkolaborasi
Penulis: I Putu Wisnu Saputra
0 Comments