“Sesuai dengan semboyan organisasi ini, “empowering young people for peace and the fulfillment of humankind potential” saya yakin perdamaian dan kemanusiaan dalam pendidikan akan menjadi kultur bangsa ini. Semoga kita semua, para dosen, guru dan anak muda Indonesia, di akar rumput ikut mempercepat target pembangunan berkelanjutan beberapa dekade ke depan”. —Guru Penyimpang Positif GSM
***
Tempo hari lalu, tepatnya pada tanggal 20 Januari 2022 guru-guru penyimpang positif GSM berkesempatan untuk melalukan sharing pengalaman mengajar dan diskusi bersama rekan-rekan muda mahasiswa di Local Project AIESEC in UGM. Kegiatan kali ini berupa (LGD) Leaderless Group Discussion, di mana guru-guru GSM dan rekan-rekan muda dari seluruh Indonesia berdiskusi dengan topik dunia pendidikan hari ini.
Salah satu guru penyimpang positif GSM menjelaskan bahwa bahwa akar permasalahannya adalah masih banyak para guru yang berorientasi pada kentutasan materi. Kompetensi-kompetensi dasar di kurikulum banyak diterjemahkan secara tekstual, sehingga proses kegiatan pembelajaran hanya berisikan materi, ulangan, ujian dan begitu seterusnya hingga membentuk siklus. Sekolah hanyalah sebatas formalitas, sedangkan siswa tidak tahu arah dan tujuannya. Dari uraian tersebut semakin menambahkan, bahwa selama ini guru terjebak dengan banyak nasehat yang ditujukkan pada siswa sedangkan harapan siswa itu tidak lebih banyak didengarkan bagai angin lalu. Jarang guru yang mengajak siswanya berdialog, menemukan impian masa depan dan memantik siswa untuk membuat rencana masa depannya. Guru masih membuat kesamaan dan keseragaman dalam mengajar, sedangkan kodrat anak berbeda satu sama lain.
Ketika dihadapkan dengan sebuah kasus, “Bagaimana jika hari ini kalian dipercayai menjadi guru di daerah terpencil, tertinggal, terluar tidak ada sarana prasarana memadai, tidak ada gawai. Dimana siswa-siswa kalian berasal dari keluarga ekonomi bawah, dengan perilaku yang terkadang kurang baik, dimana bicara kotor, tidak menghargai guru, njathil (jaranan/kuda lumping) saat pelajaran adalah bagian dari keseharian mereka”. Ternyata jawaban-jawaban yang diberikan dari rekan muda sukses membuat guru terharu dan terkesima. Adapun pendapat yang keluar dari mbak Lala, menyikapi kasus tersebut ia menjadikan dirinya sebagai pusat pusat perubahan bagi lingkungannya. Jika ia menjadi guru, ia akan mencontohkan dirinya agar anak-anak didiknya meneladani sikapnya. Lebih lanjut, Mas Khoirul, sosok anak muda yang unik, yang membidik permasalahan dari kacamata society, ia melihat perilaku anak didik yang kurang baik adalah tanggung jawab keluarga dan masyarakat, ia memilih mendampingi masyarakat agar teredukasi, sehingga melahirkan anak-anak dengan harapan serta cita-cita yang lebih baik dari sebelumnya. Selain itu, ada mbak Ratu, ia menjawab dengan analisis yang dalam, bisa dikatakan normatif solutif. Ia berupaya melakukan diagnosis terlebih dahulu terhadap siswa-siswanya sebelum mengajar, berupaya mengenali karakter masing-masing siswanya, mencari informasi tentang kondisi keluarga dan lingkungan siswa yang akan dia ajar. Bahkan ia dengan detail akan berupaya mencari tahu model belajar siswa-siswanya, apakah siswa saya termasuk visual, audio, atau kinestetik. Kemudian membangun komunikasi dan mencari metode yang tepat agar anak-anak mau belajar.
Dari uraian di atas, kita bisa melihat semangat influencer ada pada diri anak-anak muda. Anak muda seperti inilah yang dibutuhkan oleh bangsa kita. Jika seluruh anak muda memiliki concern pada bidang pendidikan, maka di tangan merekalah lahir generasi penerus yang lebih baik.
Salam, Berubah, Berbagi, Berkolaborasi.
Penulis: Nazula Nur Azizah
Editor: Nida Khairunnisaa
0 Comments