Rutinitas. Kata itu mungkin jarang kita ucapkan, namun selalu kita lakukan tujuh hari dalam seminggu. Bagi mereka yang masih sekolah, mungkin ia dimulai dengan bangun, persiapan buku, mandi, sarapan, sekolah, lalu pulang kelelahan. Bagi yang sudah bekerja, mungkin proses yang dilalui berbeda, namun di pengujung hari tetap saja menemukan kelelahan. Semua orang pun akhirnya memilih rebahan, beristirahat dan tenggelam dalam capeknya tubuh (serta pikiran) masing-masing ketika pulang.
Keluarga dan rumah dalam konteks ini pun tidak lebih menjadi tempat untuk singgah. Sesampainya di rumah, orang tua akan sibuk dengan pekerjaan domestic, sementara anak menyiapkan segalanya agar bisa mengikuti proses di sekolah esok harinya – lalu semuanya tenggelam di kasur masing masing. Syukur jika masih ingat berdoa dan bercengkerama, namun aktivitas itu takkan bermakna lebih dari ‘selingan’.
Realitas macam inilah yang mungkin mewarnai hari-hari kita. Waktu menjadi satuan yang begitu saja dilalui dan mau tidak mau setiap orang teralienasi dalam dunianya sendiri, minimal delapan jam sehari. Jika delapan jam lainnya adalah tidur, empat jam lain untuk perjalanan, makan, mandi, berdoa, dan rekreasi, berapa jam yang kita punya untuk ‘hidup berkeluarga’?
Tidak perlu dihitung, cukup direnungkan dalam hati. Toh, sekarang realitas itu luluh lantak ketika dunia kedatangan tamu tak diundang: Covid-19. Semua orang diminta menjaga jarak sosial dan fisik. Bahkan sebisa mungkin, semua diminta untuk tinggal di rumah saja.
Rumah yang selama ini jadi tempat singgah, kini justru jadi pusat aktivitas setiap insan untuk mengantisipasi pandemic Covid-19. Keluarga, yang mungkin tak mendapat banyak waktu untuk saling menguatkan, kini mendapat porsi lebih besar dari setengah hari. Di tengah pembatasan dan ketakutan, justru ada kesempatan untuk menguatkan hubungan keluarga – kita dikembalikan pada kesadaran bahwa keluarga adalah satuan terkecil sekaligus terkuat untuk menghadapi segala hal.
Ironisnya, masih ada saja pihak-pihak yang tidak sadar adanya potensi besar ini dan melakukan sebaliknya. Sekolah misalnya, justru membebankan siswa dengan pembelajaran online dan tugas seabrek. Belum cukup dengan itu, orang tua yang mungkin gaptek juga ikut dibebani untuk ikut mengakomodasi pembelajaran yang tidak nyambung dengan suasana saat ini.
Coba bayangkan, Anda diminta untuk tinggal di rumah untuk menghindari pandemi, mungkin juga aktivitas mencari nafkah terbatas, belum lagi kebosanan hingga stress yang melanda, lalu tiba-tiba dipasrahi tugas seabrek di luar kapasitas Anda. Hanya mengingatnya saja saya bisa marah-marah sendiri, apalagi jika harus melakukannya setiap hari.
Baik. Tugas guru memang berat. Begitu pula dengan administrasi yang menekan dan menuntut. Namun bukankah ada yang lebih penting dari mengejar materi pembelajaran? Atau mengusahakan nilai bagus di masa depan, apalagi sekadar menyiapkan Ujian Nasional (yang katanya sudah dihapus itu)?
Dalam situasi seperti ini, bukankah masalah kesehatan mental jauh lebih penting?
Ketika rutinitas beserta dengan realitas yang biasa kita jalani itu gempar, kita patut melakukan refleksi kepada diri sendiri. Terutama bagi kita yang bergerak dalam ranah pendidikan, esensi yang kita perjuangkan pun patut kita pertanyakan lagi. Sekolah dan tugas-tugas tidak seharusnya membuat anak-anak terasing dari keluarganya. Sebaliknya, dengan ‘kuasa’ yang dia miliki untuk berkomunikasi dengan orang tua dan siswa, dia seharusnya perlu menjadi jembatan untuk mengakomodasi ketangguhan keluarga.
Lagipula, pendidkan tidak seharusnya mencabut manusia dari akarnya, apalagi menjadikan insannya sebagai makhluk asing. Insan pendidikan justru harus memperkuat akar agar bisa tumbuh sepesat mungkin dan keluarga adalah tanah subur yang perlu didukung oleh sekolah sebagai Lembaga pendidikan.
#Tangguh Bersama Keluarga
(Ramlan, GK)
0 Comments