“Kaum Intelektual tidak sekadar berumah di atas angin, di menara gading singgasana keintelektualannya, melainkan sekaligus terlibat bergulat dengan politik dan kekuasaan demi mencari jalan keluar atau terobosan implementatif bagi berbagai persoalan kemanusiaan dan kebangsaan”
Alexander Sonny Keraf
Disematkannya julukan Bapak Pendidikan Indonesia kepada Ki Hadjar Dewantara tak lepas dari perjuangan dan tekadnya dalam membangun pondasi pendidikan bangsa Indonesia. Sejak masa perjuangannya, Ki Hadjar Dewantara selalu melawan sistem pendidikan kolonial Belanda yang diskriminatif dan tidak adil bagi rakyat. Pendidikan yang merdeka dan setara adalah cita-cita yang ingin ia wujudukan bagi pendidikan Indonesia.
Perjuangan-perjuangan Ki Hadjar untuk pendidikan Indonesia memperlihatkan bagaimana sosok guru sekaligus sosok intelektual ada di dalam dirinya. Keistimewaannya sebagai seorang ningrat, dan pendidikan yang ia tempuh tidak menjadikan Ki Hadjar Dewantara buta akan kondisi sosial sekitarnya. Penindasan dan ketidakadilan yang ia saksikan secara langsung membuat hatinya tergerak untuk membawa arus perubahan. Pergulatan dan upaya Ki Hadjar Dewantara mencari solusi untuk pendidikan bangsa Indonesia menunjukkan bahwa ia adalah sosok intelektual yang mampu berkontribusi bagi kepentingan bangsa.
Belajar dari Kesadaran dan Kepekaan Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara adalah salah satu orang yang mampu membaca dan menginterpretasi motif tersembunyi kebijakan pemerintah kolonial saat itu dalam menyelenggarakan pendidikan bagi elit bumiputera (Samho, 2013). Sistem pendidikan pemerintah penjajah dianggap sebagai sistem yang indoktrinatif dan destruktif. Indoktrinatif artinya pihak penjajah berusaha menanamkan nilai-nilai yang mereka yakini kepada pribumi agar tunduk terhadap mereka. Destruktif artinya berupaya merusak tatanan nilai yang sudah ada dengan menginternalisasi nilai-nilai baru. Ia memiliki pandangan untuk tidak mau terjebak dan tidak mau tunduk pada sistem yang hanya akan menguntungkan dirinya sendiri. Ia juga tidak ingin melihat ketidakadilan dan penindasan terhadap rakyat.
Ki Hadjar Dewantara mengkritik kelemahan dan ketidakcocokan sistem tersebut bagi generasi muda Indonesia. Ia menganggap bahwa sekolah-sekolah yang dibangun penjajah tidak lebih dari sarana membangun citra yang baik pada rakyat jajahannya. Setelah para elit pribuminya puas dengan status quo yang dimilikinya, pemerintah Kolonial bertujuan membungkam mereka secara halus. Namun, tidak dengan Ki Hadjar Dewantara yang sadar dengan adanya diskriminasi dan eksklusivitas sosial di sekitarnya.
Visi Pendidikan dari Sang Intelektual
Hakikat pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah “tuntunan” atau “menuntun” yang artinya mengarahkan atau mengawal segala kodrat yang ada pada anak-anak. Hal ini agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat selamat dan bahagia. Dapat diilustrasikan seperti kita yang menuntun anak agar bisa berjalan sendiri–yang membuat anak itu bisa berjalan bukan kita, tetapi potensi yang ada di dalam dirinya. Ki Hadjar Dewantara mengemukakan bahwa pendidikan pada anak harus sejalan dengan kodratnya sebagai manusia. Konsep tersebut terdapat pada sistem among yang didasari oleh dua prinsip utama. Pertama, prinsip kodrat alam sebagai syarat kemajuan yang harus dicapai secepat mungkin dan sebaik-baiknya. Kedua, prinsip kemerdekaan sebagai persyaratan untuk menghidupkan dan menggerakkan potensi fisik dan mental anak agar dapat memiliki kepribadian yang kuat serta berpikir dan bertindak secara mandiri. Kemudian dijelaskan bahwa untuk mengembangkan potensi alamiah anak, maka harus dididik sesuai dengan kodrat-kodratnya sebagai manusia. Karena pada dasarnya manusia adalah satu dengan kodrat alam itu sendiri (Suparlan, 2015). Maka tugas seorang pendidik adalah mengarahkan, menuntun, menumbuhkan, dan merawat kodrat yang dimiliki oleh seorang anak.
Tujuan pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai Tri Rahayu, terdiri dari tiga tingkatan yang saling berkaitan. Pertama, “Memayu Hayuning Sarira,” yang berarti menjaga diri. Kedua, “Memayu Hayuning Bangsa,” yang artinya menjaga bangsa. Dan ketiga, “Memayu Hayuning Bawana,” yang mengacu pada penjagaan kelestarian alam. Ketiga tujuan pendidikan ini merupakan tiga level yang harus dicapai secara berurutan. Dengan memulai dari pembenahan diri, setiap individu yang sudah mengalami perubahan akan memberikan dampak positif pada bangsanya. Seiring bangsa-bangsa yang berbenah, alam semesta pun akan semakin terjaga. Oleh karena itu, dalam praktiknya, seorang terpelajar memiliki tanggung jawab untuk merawat dan menjaga dirinya karena nilai keindahan diri juga harus menjaga bangsanya karena bangsa itu indah, serta harus turut serta menjaga kelestarian alam karena alam itu juga indah. Dengan tindakan ini, tujuan kelestarian dapat tercapai pada diri, bangsa, dan alam.
Kemudian sebagai seorang pendidik, guru memegang peranan penting dalam konteks sekolah dan masyarakat. Ki Hadjar Dewantara merumuskan tiga peran ini sebagai Triloka, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani.
1. Peran pertama, guru harus menjadi contoh yang baik ketika berinteraksi dengan siswa. Ini berarti guru harus memberikan teladan positif dalam perkataan dan perilakunya, menciptakan standar yang baik bagi siswa untuk diikuti.
2. Ketika berada di tengah komunitas sekolah atau masyarakat, guru harus “mangun karso.” Ini berarti guru harus berperan aktif dalam mencari solusi kreatif, gagasan baru, dan inovasi konkret untuk mengatasi permasalahan yang ada di sekitarnya.
3. Peran terakhir, ketika berada di belakang, guru harus “handayani.” Guru harus selalu siap memberikan dukungan dan bimbingan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan siswa-siswanya.
Dengan memahami dan menjalankan tiga peran Triloka ini, seorang guru dapat efektif memengaruhi perkembangan siswa dan memberikan kontribusi positif dalam konteks pendidikan dan masyarakat.
Merefleksikan Guru sebagai Sang Intelektual
Hingga saat ini peran guru tidak dapat tergantikan dalam perkembangan intelektual di Indonesia. Mereka tidak sekadar seorang pengajar, tetapi pendidik generasi penerus bangsa yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa ini. Jika hanya sebatas mengajar ilmu pengetahuan formal, maka guru bukan satu-satunya sumber belajar. Di masa ini ada banyak sekali informasi dan sumber belajar yang bisa didapatkan selain dari guru. Namun, kenyataanya guru harus menjalankan perannya sebagai seorang intelektual yang mampu membimbing siswa-siswinya dalam upaya peningkatan moral, adab, etika, dan budaya yang tentunya belum bisa didapatkan dari sumber lain.
Pada realitas di lapangan, peran para guru justru masih mengalami inkonsistensi dalam menjadi seorang intelektual. Inkonsistensi ini ditunjukkan melalui kurangnya kesadaran guru dalam perannya sebagai seorang intelektual. Hal tersebut bisa karena terpaksa atau dipaksa oleh sistem dan kondisis sosial-lingkungan mereka. Ada guru-guru yang kesejahteraannya sangat memprihatinkan sehingga mereka harus membagi waktunya untuk mencari sumber penghidupan lain. Ada pula guru-guru yang terjebak dalam posisinya atau telah berada di zona nyaman, dan sebagai akibatnya, semangat serta motivasinya dalam dunia pendidikan mulai mengalami penurunan.
Namun hal-hal tersebut bukan menghilangkan apresiasi bagi para guru di Indonesia yang telah berjuang demi pendidikan Indonesia layaknya perjuangan Ki Hadjar Dewantara dahulu. Para guru saat ini sedang melanjutkan perjuangan Sang Bapak Pendidikan Indonesia untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Mereka perlu diberi ruang untuk bisa menjalankan fungsi intelektualnya demi perubahan yang lebih baik di masyarakat dan dunia pendidikan. Jika guru bukan sebagai ujung tombak intelektual pendidikan Indonesia, siapa lagi yang bisa diandalkan?
Referensi
Faiz, F. (4 Maret 2020). Ngaji Filsafat 259 : Ki Hadjar Dewantara – Pendidikan. MJS Chanel. https://youtu.be/pjPOEHXtTMU?si=xamzkm8vnlXS3UjI. Tanggal diakses pada 26 Oktober 2023.
Pratikno et. al. (2019). Intelektual Jalan Ketiga. Jakarta: Gramedia.
Samho, B. (2013). Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Tantangan dan Relevansi. Sleman: Kanisius.
Suparlan, H. (2015). Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia. Jurnal Filsafat. 25(1), 60.
Penulis : Ahmad Rivai dan Muhammad Virzian Hasbi
Editor: Ratu Mutiara Kalbu
0 Comments