Di tengah era disrupsi yang kian kompleks dan berkembang dengan sangat cepat, ada banyak sekali keterampilan dan kemampuan manusia yang mulai tergantikan oleh inovasi teknologi. Mulai dari penyedia pengetahuan sampai keterampilan melipatgandakan produk, robot mulai mengambil alih sehingga ruang berkarya manusia pelan-pelan semakin sempit.
Meski begitu, ada nilai tambah yang hanya bisa dimiliki oleh manusia dan tidak tergantikan oleh robot secanggih apa pun. Nilai-nilai tambah itu adalah empati, kebijaksanaan, dan karakter positif yang mustahil dikoding – dan sudah sepantasnya dunia pendidikan mengoptimalkan pengembangan anak-anak pada atribut tersebut.
Sayangnya, karakter-karakter di atas tidak cukup jika hanya diajarkan lewat hafalan, pembiasaan, apalagi sebatas pengajaran di kelas.
Revolusi untuk Membangun Generasi Empatik
Model pembelajaran hafalan dan pengajaran di kelas hanya mampu meningkatkan kemampuan kognitif, padahal keterampilan itu tidak lagi cukup untuk menghadapi dunia yang terus berubah dengan cepat. Langkah yang harus ditempuh oleh pendidikan kita untuk bisa mendobrak kompleksitas era disrupsi dan membangun generasi muda siap saing adalah revolusi mindset.
Revolusi pemikiran ini tidak bisa serta-merta diajarkan kepada murid layaknya memberikan formula sederhana dalam matematika. Murid sebagai pembelajar perlu merasakan, mengerti, kemudian melakukan revolusi ini harus didukung oleh kultur belajar yang transformatif.
Apa itu kultur belajar transformatif? Ia merupakan konsep pembelajaran yang menekankan perubahan perspektif terhadap penuntut ilmu. Pembelajaran transformatif ini setidaknya mencakup tiga dimensi, yakni perubahan cara pandang (psychological), perubahan implementasi (behavioral), dan akhirnya perubahan perspektif (convictional).
Pada tahap psychological, dimensi sekitar perlu mengubah pemahaman pembelajar sehingga mereka mampu menjelaskan permasalahan yang mereka hadapi. Tahap behavioral mengacu pada keberadaan lingkungan yang mendorong pembelajar untuk mengambil langkah yang berbeda terhadap situasi yang stagnan. Kemudian, dua tahap itu diharapkan mampu melahirkan revisi perspektif – bagaimana sang pembelajar memandang dunia di sekitarnya.
Jika kultur belajar transformatif mampu terwujud dan tiga dimensi itu mampu bersinergi, niscaya pendidikan Indonesia tidak akan macet. Apa yang diajarkan di kelas tidak melulu kognitif, tetapi bagaimana mengolah emosi, perilaku, dan kehidupan sosial – mengerti serta menerapkan pentingnya empati. Karena itulah kurikulum akan menyediakan konten yang mengajak muridnya untuk belajar berkolaborasi dan menyelesaikan masalah nyata yang ada di sekitarnya.
Oleh Muhammad Nur Rizal, Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan
0 Comments