Pendidikan memiliki peran yang sangat signifikan dalam perkembangan seorang anak. Periode pertumbuhan dan perkembangan anak adalah fase krusial yang akan membentuk karakter mereka di masa depan. Oleh karena itu, sangat penting bagi anak-anak untuk menerima pendidikan berkualitas selama periode ini, baik di lingkungan rumah maupun di sekolah. Bahkan, saat ini, banyak orang tua yang telah memilih untuk menyekolahkan anak-anak mereka sejak usia dini.
Sekolah menjadi rumah kedua bagi anak untuk menempuh pendidikan. Sekolah memiliki peran sentral dalam membentuk perkembangan dan pendidikan anak. Sebagai lembaga pendidikan, sekolah tidak hanya menyuguhkan ilmu-ilmu akademis semata, tetapi juga berperan sebagai lingkungan bagi anak-anak untuk belajar berinteraksi, mengembangkan minat dan bakatnya, serta membentuk nilai-nilai moral anak.
Oleh karena itu, guru juga memiliki peran yang tak kalah penting karena guru menjadi orang tua kedua bagi anak di sekolah. Guru berperan sebagai mentor sekaligus fasilitator dalam proses pembelajaran di sekolah. Tanggung jawab yang diemban oleh guru tidak hanya memberikan ilmu-ilmu mata pelajaran saja, tetapi juga bertugas untuk mendidik siswa-siswinya untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan.
Mengingat begitu besarnya peran sekolah dan guru bagi kehidupan seorang siswa, maka sekolah harus menjadi tempat yang nyaman bagi siswa untuk belajar. Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) berupaya untuk menumbuhkan budaya sekolah yang nyaman dan aman bagi siswa sehingga siswa tidak malas untuk pergi ke sekolah dan belajar. Implementasi nilai-nilai dari GSM memerlukan peran yang besar dari seorang guru sebagai aktor penting di sekolah. Seorang guru inspiratif bernama Bu Hayati, guru dari Kabupaten Tangerang yang telah mengajar sejak tahun 1993.
Hayati menuturkan bahwa bergabung bersama GSM merupakan pengalaman yang luar biasa bagi dirinya. Dalam mengembangkan budaya sekolah yang menyenangkan, bukan hanya siswa saja yang merasa senang, tetapi guru-gurunya pun turut merasa senang.
“GSM itu bagaikan fondasi bagi sekolah. Rumah kedua bagi siswa ini akan kokoh apabila diterapkan nilai-nilai sekolah menyenangkan. Apa pun kurikulumnya, penerapan pembelajaran akan dibersamai dengan nilai-nilai GSM,” ujar Hayati yang mengatakan bahwa nilai-nilai sekolah menyenangkan dapat berdampak dalam pengembangan emosi dan skill anak-anak.
Ketika awal bergabung dengan GSM, Hayati menemui rintangan dalam bidang IT. Dahulu ia bisa dikatakan adalah orang yang tidak melek teknologi. Ia mengaku sangat terbantu dengan kehadiran Bu Lily selaku koordinator komunitas nasional di GSM yang turut membersamai perjalanannya. Bu Lily selalu menyemangati Hayati untuk belajar IT. Ia pun mulai bisa membuat presentasi dengan Power Point (PPT) sendiri dan pada beberapa kesempatan ia menjadi pembicara dari sekolah, kecamatan, hingga kabupaten. Berbicara mengenai GSM dan penerapan-penerapan yang harus dilakukan merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi diri seorang Hayati.
Hayati menerapkan berbagai praktik yang bisa membuat anak-anak didiknya merasa senang belajar di sekolah. Misalnya pada anak kelas 1 yang diajak untuk belajar di lapangan terbuka dan diajak untuk berdiskusi. Ia memberikan pemahaman kepada anak-anak yang baru mengalami masa peralihan dari TK ke SD tersebut dengan menyatakan bahwa apabila di sekolah itu tidak lagi mencari orang tuanya lagi, tetapi mencari guru-gurunya. Anak-anak ke sekolah membawa media, ada anak yang membawa kertas dari rumah untuk alat peraga. Hayati merasakan ada perubahan perilaku pada anak didiknya setelah menerapkan praktik-praktik tersebut, mereka tidak lagi menjadi anak yang penakut, tidak mudah menangis, dan menjadi lebih mandiri. Bahkan saking senangnya belajar di sekolah, ada anak didiknya yang tidak mau diajak ibunya pulang ke rumah ketika jam pelajaran sudah selesai.
Dalam kesaksiannya, Hayati juga menuturkan bahwa semenjak menerapkan nilai-nilai GSM, pandangannya terhadap sekolah pun berubah. Dahulu sebagai guru ia hanya sebatas menjalankan peran mengajar mata pelajaran saja dan abai terhadap emosi siswa-siswinya. Ia justru merasa kesal ketika melihat anak didiknya memperlihatkan emosi negatif saat di kelas. Namun, setelah menerapkan kegiatan deep intro dan circle time, terjadi perubahan personal pada dirinya. Hayati mulai bisa untuk mengontrol emosinya dan menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan di sekolah.
Anak-anak itu selalu antusias untuk sekolah di mana pun asalkan sekolah dapat menjadi ruang yang aman dan nyaman bagi anak. Dalam menangani anak berkebutuhan khusus (ABK) misalnya, Hayati berusaha untuk mengerti ketidaknyaman mereka dan memahami apa hal-hal yang dibutuhkan agar merasa nyaman dan mau untuk belajar di sekolah. Ada satu anak yang tidak lancar dalam berkomunikasi, dan proses pembelajaran bisa berjalan dengan lancar apabila orang tua turut andil dalam proses pembelajaran. Apabila anak tersebut meminta untuk digendong, Hayati pun tidak segan untuk menggendong anak tersebut.
Hayati percaya bahwa semua anak itu sama dan bisa pintar. Hal yang sulit itu bukan membentuk anak menjadi pintar melainkan membentuk perilaku anak agar bermoral baik. Oleh karena itu, guru perlu untuk berkolaborasi dengan orang tua karena fungsi guru adalah membimbing anak-anak didiknya, tidak hanya untuk menjadi anak yang pintar, tetapi juga menjadi anak yang berkepribadian baik.
Penulis: Idha Christiana
0 Comments