Jika berbicara tentang sekolah, maka kita pasti akan dihadapkan pada sebuah lingkungan yang besar dan di sana kita bisa menemukan guru – guru yang sedang mengajar, siswa yang sedang memperhatikan guru, ruangan kelas yang monoton, pembelajaran yang tidak aktif, dan lain sebagainya. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan bahwa itu adalah refleksi atau cerminan nyata dari sekolah kita masa kini. Bahkan kasus perundungan pun sering terjadi pada sekolah – sekolah yang ada di Indonesia. Padahal jika kita kembali ke esensi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, yang namanya pendidikan dan sekolah harus dipandang layaknya sebuah taman dan bukan penjara. Namun, tentu untuk membuat sekolah seperti itu juga membutuhkan guru – guru yang mampu menuntun kodrat manusia bahkan mampu menciptakan budaya sekolah yang menyenangkan sesuai dengan konsep GSM.
Pada tanggal 18 maret kemarin, GSM baru saja menggelar acara yang bertajuk Kelas Berbagi Menyenangkan dengan tema “Menerjang Hambatan, Merawat Komitmen Perubahan”. Acara ini dimaknai sebagai titik balik kepada guru – guru di seluruh Indonesia bahkan yang sudah saat ini tergabung dalam GSM untuk kembali menjaga komitmen kita sebagai seorang guru di tengah hambatan ada untuk membuat pendidikan jauh lebih baik dan membuat image sekolah tidak lagi seperti sekolah yang dulu. Acara ini sukses dan berhasil karena dihadiri oleh seluruh guru – guru yang tergabung dalam komunitas Gerakan Sekolah Menyenangkan dan tersebar di berbagai provinsi yang ada di Indonesia. Acara ini juga langsung diselenggarakan oleh Gerakan Sekolah Menyenangkan melalui fitur video conferences dan live di channel youtube Gerakan Sekolah Menyenangkan.
Narasumber untuk acara ini ialah Bu Wiwik dan Bu Elis yang nantinya akan bersama – sama membagikan pengalamannya terkait dengan bagaimana menjaga komitmen di tengah hambatan yang ada demi perubahan pendidikan Indonesia yang lebih baik. Sesi pertama dimulai dengan pemaparan terkait dengan pengalaman Bu Wiwik. Bu Wiwik mengatakan bahwa di tahun 2008 merupakan tahun pertama Bu Wiwik bahkan termasuk Bu Elis masuk ke sekolah pemerintah karena sebelum itu Bu Wiwik dan Bu Elis hanya mengabdi di sekolah swasta selama hampir 16 – 17 tahun. Pada saat itu yang menjadi gundahnya Bu Wiwik ialah dengan sekolah yang seperti ini maka harus diimbangi dengan metode belajar yang menyenangkan.
Pada waktu itu, Bu Wiwik membuat gebrakan belajar yaitu dengan membuat pola pengaturan tempat duduk terasa tidak monoton agar suasana dalam belajar menjadi lebih menyenangkan. Sementara itu, penerapan pola pengaturan tempat duduk atau penataan kelas yang seperti itu sempat direspon negatif oleh rekan sejawatnya bahkan juga beberapa orang tua yang anaknya bersekolah di tempat tersebut. Tetapi, Bu Wiwik menjelaskan bahwa pola pengaturan tempat duduk tersebut harus diubah agar anak – anak dapat berinteraksi dengan teman – temannya, terbangun rasa percaya dirinya, proses pembelajaran menjadi lebih menyenangkan, membuat siswa menjadi lebih aktif dalam pembelajaran dan lain sebagainya.
Proses refleksi pun dilakukan oleh rekan sejawat Bu Wiwik karena melihat bahwa kelas yang diajarkan oleh Bu Wiwik selalu menjadi terasa menyenangkan. Ditambah terdapat respon positif dari siswa – siswi yang diajarkan oleh Bu Wiwik membuat guru – guru yang tadinya merespon negatif terhadap kelas Bu Wiwik menjadi berbalik arah dan ingin bersama – sama membuat pembelajaran menjadi lebih menyenangkan. Selain itu, Bu Wiwik dan Bu Elis pernah memiliki pengalaman yang unik terkait dengan visitasi menyenangkan yang dilakukan oleh Bu Wiwik dan Bu Elis ke salah satu sekolah. Di sekolah tersebut, ekosistem sekolahnya masih cenderung feodalistik. Banyak guru – guru yang ingin melakukan perubahan tetapi dituntut oleh kepala sekolah sendiri untuk tidak mengotori wilayah sekolah termasuk dinding kelas yang rencananya akan diisi oleh karya – karya siswa. Sehinnga dari sini Bu Wiwik dan Bu Elis merasa bahwa mengubah mindset guru yang sudah ada selama ini sangatlah susah.
Dalam forum Kelas Berbagi Menyenangkan, Bu Wiwik menceritakan bahwa dari pengalaman – pengalaman itulah yang membuat Bu Wiwik merasa harus untuk melakukan perubahan terus menerus dan terus berkomitmen membagikan pengalaman ini kepada guru – guru lain agar semua guru dapat istiqomah dalam menjalanikan kewajibannya. Bu Wiwik pun membagikan tips terkait dengan bagaimana menjaga komitmen perubahan yaitu yang pertama adalah menganggap bahwa profesi guru adalah profesi yang menyenangkan, profesi yang membanggakan, dan menyenangkan. Lalu yang kedua ialah dengan membuat perubahan yang realistis atau dengan kata lain perubahan tersebut dapat dijalankan secara mandiri dan tanpa mengganggu aktivitas guru lainnya. Misalnya dengan pola pengaturan tempat duduk, pola pengaturan karya siswa, dan lain sebagainya. Lalu yang ketiga adalah dengan menyusun rencana perubahan. Rencana perubahan tidak harus dimulai dengan sesuatu yang wah atau besar tetapi bisa dimulai dengan sesuatu yang sederhana. Yang terakhir dan yang paling penting ialah berkomitmen dari diri sendiri sehingga nantinya antara mindset dan tindakan sejalan. Selain itu, untuk dapat berkomitmen terhadap diri sendiri yang ingin mekakukan perubahan ialah dengan cara menjauhkan pikiran – pikiran yang negatif yang dapat menganggu kita. Serta selalu bersikap positif terhadap situasi yang ada.
Bu Wiwik juga memaparkan bahwa dalam pengimplementasian metode belajarnya dirasa tidak memiliki hambatan yang terlalu besar dikarenakan kepala sekolah tempat Bu Wiwik mengajar memberikan dukungan penuh kepada Bu Wiwik dan Bu Elis terkait dengan metode belajar yang mampu memberikan kesenangan kepada murid dalam belajar. Bahkan Bu Wiwik sering mengkomunikasikan hasil perubahan yang terdapat dalam anak didiknya kepada kepala sekolah sehingga kepala sekolah tergerak hatinya untuk memotivasi guru – guru yang lain. Sehingga saat ini sudah banyak guru – guru yang terdapat dalam sekolah Bu Elis dan Bu Wiwik mengikuti cara mereka dalam belajar.
Setelah itu, pemaparan pun berlanjut ke pengalaman yang dialami oleh Bu Elis. Sama seperti Bu Wiwik, Bu Elis juga mendapatkan hambatan dari rekan kerjanya sendiri. Bahkan guru – guru senior juga sempat mengkritik terhadap metode belajar yang diterapkan oleh Bu Elis sendiri. Tetapi Bu Elis tidak menyerah dengan keadaan tersebut sehingga masih terus memperteguh keyakinannya untuk bagaimana caranya agar dapat membuat pembelajaran menjadi lebih memanusiakan dan menyenangkan. Bahkan Bu Elis dan Bu Wiwik sempat mengajak anak – anak untuk keluar ke lingkungan sekolah untuk melakukan pembelajaran tetapi masih diberikan respon negatif. Menurut Bu Elis sendiri, pembelajaran tidak hanya selalu bisa dilakukan di kelas tetapi bisa juga dilakukan di lingkungan sekolah karena ini adalah esensi dari contextual teaching learning. Hal ini dilakukan untuk membuat pembelajaran menjadi lebih menyenangkan dan nantinya akan terbangun daya nalar siswa karena siswa mampu mengaitkan antara teori dengan fakta di lapangan.
Selain hambatan tersebut, eksistensi dari keadaan geografis sekolah juga menjadi salah satu hambatan. Sekolah yang ditempati Bu Elis adalah sekolah yang langsung bersebelahan dengan Tempat Pembuangan Akhir sehingga membuat Bu Elis harus memutar otak untuk dapat membuat lingkungan sekolah menjadi lebih baik. Tetapi hal ini langsung diatasi oleh Bu Elis dengan membuat perencanaan yang matang dan langsung mengajak rekan sejawatnya untuk memulai aksi penataan lingkungan sekolah. Dan pada akhirnya sekolah bu Elis sekarang akhirnya masuk menjadi sekolah adiwiyata tingkat provinsi dan akhirnya bisa bergabung dengan komunitas GSM.
Sejak saat itulah, sekolah Bu Elis dan sekolah Bu Wiwik semakin baik karena sudah bergabung dengan komunitas GSM dan percaya bahwa nilai – nilai yang sudah diterapkan tersebut sebelum bergabung dengan GSM adalah nilai – nilai yang serupa juga dengan GSM demi membangun sekolah masa depan yang baik. Hal ini sangat terlihat dari bagaimana kegigihan Bu Elis dan Bu Wiwik dalam mengubah kultur lingkungan sekolah menjadi menyenangkan dan tidak monoton dalam hal pembelajaran.
Salam Berubah, Berbagi, dan Berkolaborasi
Penulis: I Putu Wisnu Saputra
Editor: Nida Khairunnisaa
0 Comments