Pada Kamis (11/04) lalu, Kementerian Agama (Kemenag) Daerah Istimewa Yogyakarta mengadakan rapat kerja (raker) untuk merancang dan membicarakan kembali mengenai kurikulum Madrasah yang selama ini ada. Raker tersebut dihadiri oleh kepala sekolah, guru, pengawas dan banyak stakeholder lainnya yang berperan dalam ranah pendidikan. Muhammad Nur Rizal sebagai salah satu penggagas Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) turut hadir dalam rapat kerja tersebut.
Madrasah hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai institusi yang menambah keberagaman dan alternatif pendidikan di Indonesia. Dengan segala perkembangannya yang semakin modern, kini madrasah tidak lagi termarginalkan, malah bisa bersaing dan tidak kalah dari pendidikan formal biasa. Selain karena infrastruktur, sistem, dan kelembagaan yang semakin baik, madrasah bisa bersaing dalam kancah pendidikan nasional adalah karena dianggap bisa memberikan nilai tambah tersendiri dengan kurikulumnya yang menekankan pada keseimbangan antara aspek intelektual, spiritualitas, dan sosial.
Namun, salah satu tantangannya yang terpapar adalah adanya aspek spiritual dan keagamaan sering kali juga dipandang memberatkan bagi siswa. Hal itu disebabkan karena siswa Madrasah dibebani oleh mata pelajaran yang lebih banyak dibandingkan dengan siswa sekolah negeri pada umumnya. Karena itulah, Kemenag sebagai departemen yang memiliki kebijakan pada kelangsungan sistem pendidikan di Madrasah harus memikirkan cara supaya nilai spiritual tersebut benar-benar bisa menjadi nilai plus ketika orang tua memutuskan untuk menyekolahkan anaknya ke MI (Madrasah Ibtidaiyah), MTs (Madrasah Tsanawiyah) atau MA (Madrasah Aliyah).
Dalam kesempatan tersebut, Kemenag mengundang Muhammad Nur Rizal untuk memperkenalkan Gerakan Sekolah Menyenangkan kepada seluruh stakeholder yang hadir dalam rapat kerja. GSM sebagai sebuah gerakan mampu untuk menyentuh berbagai institusi pendidikan dengan beragam visi misi dan variasi kurikulumnya termasuk Madrasah. Hal itu karena GSM memang bertujuan untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang memanusiakan dan kolaboratif antara semua pihak—yang tentunya merupakan kebutuhan dari semua institusi pendidikan yang ada di Indonesia.
Ketika menjadi pembicara dalam raker tersebut, Nur Rizal menekankan bahwa semua orang mungkin memiliki gagasan cemerlang untuk menyusun kurikulum yang mutakhir, namun kemudian bagaimana hal-hal tersebut diterapkan adalah cerita lain.
“Semua orang di era ini membajak gagasan dan pikiran itu gampang, tetapi yang tidak bisa dilakukan oleh orang di era ini adalah mengeksekusi,” ujarnya.
Hal ini menunjukkan bahwa lagi-lagi penerapan sistem atau rancangan yang sudah disusun sering kali tidak seideal apa yang terjadi di lapangan saat gagasan tersebut dieksekusi, karenanya dalam hal ini guru sebagai eksekutor harus benar-benar memahami nilai dari tujuan pendidikan itu sendiri.
Dengan perkenalan pada GSM, seluruh stakeholder yang hadir terutama guru diingatkan kembali mengenai esensi pendidikan yang sudah seharusnya memanusiakan. Dengan begitu, Madrasah yang memiliki keunggulan dalam penanaman nilai spiritual akan benar-benar mampu untuk menjadikan hal tersebut sebagai nilai plus dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum lainnya.
Ketika lingkungan pendidikan sudah memanusiakan, beban pelajaran dan kurikulum yang lebih berat di Madrasah bukan menjadi masalah lagi. Guru bisa mengadaptasi model pembelajaran dan menciptakan lingkungan yang menyenangkan. Sehingga nantinya, harapan dari adanya Madrasah sebagai institusi pendidikan juga akan tercapai, yaitu menciptakan siswa yang tidak hanya memiliki intelektualitas yang tinggi, namun juga memiliki ketakwaan kepada Tuhan dan kehalusan budi pekerti sebaik-baiknya manusia.
[Putri Nabhan]
0 Comments