“We may have all come on different ships, but we’re in the same boat now.” – Martin Luther King
Pembaca yang budiman,
Kita sedang berada di titik di mana pandemi Covid-19 tak hanya berdampak pada kesehatan saja, namun juga ekonomi dan kesiapsiagaan mental. Kita berada di tengah samudera luas dengan angin dan arus kencang yang sewaktu-waktu bisa menghancurkan lambung kapal berkeping-keping. Segala sesuatu di depan menjadi gelap dan serba tidak pasti.
Tampaknya pemerintah tidak bakal mencabut kebijakan belajar di rumah meski sudah berjalan sebulan. Dalam kondisi seperti sekarang, kita sangat paham mengapa belajar di rumah adalah keputusan paling masuk akal bagi dunia pendidikan—seluruh dunia melakukan kebijakan ini. Masalahnya, semua begitu tiba-tiba. Banyak kegiatan belajar-mengajar menjadi gagap ketika metode pembelajarannya dialihkan dalam teknologi jarak jauh.
Meski UN telah ditiadakan, ketertinggalan pendidikan kita yang akut membuat pembelajaran online sering kali salah kaprah. Pendidik kerap mengambil jalan pintas memasrahkan anak didiknya untuk mengerjakan soal-soal di LKS maupun buku pendukung lainnya. Akibatnya, anak-anak justru lebih tertekan karena harus mengerjakan soal-soal—yang parahnya tidak kontekstual dengan kondisi sekarang, di tengah kekhawatiran yang merebak. Orang tua akan mengalami tingkat stres yang luar biasa karena dihadapkan pada kewajiban ekonomi dan mengajar anak. Kondisi ini justru bisa berpotensi untuk merenggangkan relasi keluarga.
Sekolah sebagai garda terdepan pendidikan harus tetap hadir sebagai inisiator pemeliharaan mental antara siswa, guru, dan orang tua itu sendiri. Banyaknya waktu di rumah bisa digunakan oleh para pendidik untuk mengajarkan betapa pentingnya kehadiran orang tua bagi anak. Guru bisa saling sapa dengan murid dan walinya melalui grup Whatsapp. Hal ini penting untuk menunjukkan perhatian dari pihak sekolah pada keluarga. Langkah menyapa orang tua mungkin terkesan sederhana, namun memiliki efek yang luar biasa. Hal ini akan berdampak pada sikap saling perhatian hingga membentuk jaringan dengan kepedulian tinggi.
Selain itu, alih-alih terus mengusahakan LKS sebagai bahan ajar, akan lebih berguna untuk memberikan pengajaran yang kontekstual dengan situasi hari ini. Misalnya, guru bisa memberi penugasan pada orang tua dan murid untuk mencari tahu efek mencuci tangan. Guru bisa mengkreasi bentuk pengajarannya menjadi sangat menyenangkan sehingga menghindarkan anak untuk memilih bermain di luar rumah. Pos ini bisa berperan penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan penularan Covid-19.
Intensitas keterbukaan antara orang tua dan anaknya akan menjadi modal berharga bagi keluarga untuk menghadapi badai seperti sekarang ini. Dari jaringan terkecil bernama keluarga, kita bisa sama-sama membentuk masyarakat yang tangguh; memutus rantai kekhawatiran berlebih, peningkatan kedisiplinan dalam rangka menghentikan penyebaran penyakit Covid-19, dan juga kepedulian sosial yang tinggi di tengah masyarakat.
Akhir kata, mari kita dayung kapalnya bersama-sama untuk segera keluar dari situasi tidak mengenakkan ini. Saling jaga dan saling bantu.
(Yesa Utomo)
0 Comments