GSM

Suatu waktu pasti selalu saja terbesit di pikiran, “Untuk apa saya hidup?”. Saya merasa jengkel dengan segala nasihat agama yang mengatakan, “Hidup ini untuk Tuhan” atau , “Hidup ini fana”. Sehingga kita harus berfokus pada “surgawi”, karena itu semua transendental dan tidak dapat dijadikan alasan konkret untuk hidup. Akan tetapi, hanya sebagai iman yang tanpa alasan harus dipercayai. Jadi, untuk apa kita hidup? Saya menemukan makna hidup dari ikhlasnya menjadi seorang guru.

Guru saya pernah bertanya kepada saya, “Mau berapa lama Anda hidup? 50 tahun? 70 tahun? 100 tahun?”. Saya menjawab tanpa pikir panjang, “Saya ingin hidup 70 tahun sudah cukup, Bu”. Beliau membalas, “Mau berapa lama pun hidup Anda, hidup tetap tidak mengubah Anda akan meninggal selamanya”. Dari percakapan tersebut, saya berpikir hidup ini singkat dibandingkan dengan kematian.

Hidup yang begitu singkat ini tidak mungkin saya lewati begitu saja. Saya harus melakukan sesuatu yang bisa dilakukan, tetapi yang menjadi pertanyaan, “Saya melakukan sesuatu untuk apa?”. Jika saya melakukan sesuatu untuk diri saya sendiri, sungguh tidak ada kebahagiaan. Hanya saja merasa senang karena kebahagiaan itu melepaskan atau memberi sesuatu, sedangkan senang  itu ketika kita menerima atau meraih sesuatu.  

Saya teringat dengan perkataan Isaac Newton,

If I have seen farther than others, it is because I was standing on the shoulders of giants

Artinya,  Jika saya mampu melihat lebih jauh daripada yang lain, itu karena saya berdiri di atas pundak para raksasa. Ternyata, siapa pun orang itu selalu berdiri di bahu para guru yang mendidik dari ketidaktahuan menjadi tahu. Dari hal tersebut, saya bisa menarik benang merah bahwa guru ini merupakan pijakan setiap orang untuk mencapai pengetahuan yang nantinya akan dimanfaatkan untuk bekal hidup. Jadi, mau sesukses apa pun diri ini sangat tidak pantas untuk merasa tinggi dan mengucilkan guru, karena dari bahu merekalah Anda berpijak untuk meraih apa yang diinginkan. Lalu guru melakukan sesuatu untuk memberi kepada orang lain.

Saya mulai mengerti eksistensi guru di tengah peradaban saat Muhammad Nur Rizal, P.hD., Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan, dalam orasinya di acara “Ngkaji Pendidikan: Guru Sang Intelektual” mengatakan, “Rasul peradaban adalah orang yang membangkitkan dan menyampaikan pesan-pesan agar tidak terjadinya keterpurukan selaras dengan guru intelektual”. Begitu besar tanggung jawab seorang guru terhadap peradaban, tetapi mereka tidak menuntut hak yang besar sebagai ganti bayaran dari sebuah peradaban.

Saya menemukan makna hidup dari guru. Ternyata, ikhlasnya guru dapat menjadi teladan bahwa hidup bisa bermanfaat bagi orang banyak. Ketika kita sudah melakukan banyak kebermanfaatan bagi orang lainm maka hidup yang singkat ini terasa penuh kebahagiaan. Karena kita banyak memberi dan melepaskan sesuatu dari sesuatu yang kita miliki. Di sisi lain, masih ingatkah kalian dengan Guru TK? Wali kelas SD? Guru IPS di SMP? Guru Bahasa Indonesia SMA? Dosen peminatan? Atau apa pun yang kalian ingat dengan guru kalian. Tentu saja dari pertanyaan-pertanyaan tersebut kalian ingat seperti halnya dengan saya ketika mengingat salah satunya Guru Bahasa Indonesia di SMA, sebab beliau mengajari saya menulis dengan baik. Nama seorang guru akan selalu terukir di hati muridnya.

Oleh karena itu, ikhlasnya guru dengan tanggung jawab begitu besar membuka cakrawala berpikir saya bahwa kehidupan ini singkat, tetapi lakukan sesuatu untuk orang-orang banyak. Waktu lamanya kita hidup tidak sebanding dengan kematian, maka lakukan segala sesuatu untuk mengukir indah hati orang-orang banyak. Sehingga ingatan akan perbuatan-perbuatan baik untuk sesama, di kehidupan yang pernah kita lakukan, selalu diingat oleh orang-orang dan abadi dalam kenangan.

Hidup tentang seni mengukir hati orang banyak

Penulis: Glenn Bintang H. S.


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.