Sebagai anak muda generasi milenial, apa yang kita ingat tentang masa sekolah dasar? Apakah hukuman berdiri di depan kelas karena tak mengerjakan PR atau teman yang berbagi bekalnya saat perut lapar? Pada titik tertentu, pernahkah mengidentifikasi bahwa ternyata pendidikan di jenjang dasar memengaruhi kehidupan kita setelah dewasa?
Rudi, salah satu teman saya di masa kelas tiga Sekolah Dasar (SD), pernah mengalami pengalaman yang traumatik. Saat hendak izin ke kamar mandi, ia kena marah oleh guru tanpa alasan jelas. Imbasnya, Rudi justru “dihukum” mengerjakan soal matematika di papan tulis. Karena tak benar-benar menguasai materi—dan ada kebutuhan untuk pergi ke toilet, grogilah ia menghadapi hukuman di depan teman-temannya. Alhasil, ia pipis di celana. Mulai terdengar tawa dari sudut kelas melihat kejadian itu. Pak guru hanya geleng-geleng kepala. Muka Rudi terlihat sangat malu.
Ilustrasi itu bagi beberapa orang akan menjadi anekdot ketika membahas masa-masa di SD. Tapi bagi saya, itu adalah tragikomedi—dengan kadar komedi yang sebenarnya pantas dipertanyakan ulang. Bukankah meminta izin ke toilet untuk buang air kecil adalah hal yang wajar? Pertanyaan cukup sampai di sini. Saya mengakui bahwa pertanyaan itu hasil dari perenungan di masa-masa sekarang; masa pemuda, umur 20 tahunan awal. Masa di mana otak manusia telah memiliki nalar yang kompleks dan kemampuan untuk membaca situasi sosial.
Sementara itu juga, masa-masa ini diyakini secara umum merupakan transisi dari dunia akademik ke dunia kerja, dari dunia muda-mudi yang ingar-bingar ke jenjang pelaminan, memiliki anak dan seterusnya. Situasi psikologis telah jelas berubah dibanding satu hingga dua dekade lalu. Inilah titik yang tepat untuk menilik kembali siapa Anda hari ini. Beruntung ketika masa pendidikan dasar tak dilalui dengan bullying, guru yang suportif, ikut les sana-sini, masuk sekolah favorit, hadiah karena selalu peringkat atas, dan seterusnya. Itu previlese. Akan tetapi, pendidikan adalah hak. Hak bagi setiap anak sekarang, anak Anda nanti, anak di segala masa.
Situasi berkembang pesat dengan dunia teknologi dan internet yang memimpin. Dunia masa depan adalah dunia yang sama sekali berbeda dari apa yang dibayangkan sebelumnya; kecerdasan artifisial, mesin genetik, realitas virtual, otomatisasi, atau bahkan kehidupan di Mars. Sementara itu, pendidikan di Indonesia tetaplah sama selama puluhan tahun ini. Sistem tetap mempertahankan guru sebagai pusat yang perlu dipatuhi, sementara anak bisa saja mengalihkan perhatiannya ke internet yang memenuhi keinginannya. Nilai tetap saja hal yang menentukan anak berhasil melewati masa pendidikan atau tidak, selagi teknologi masa depan diawali dengan imajinasi liar tak terukur.
Di titik inilah anak muda perlu menilik lagi bahwa sekolah yang kita lalui dulu sangat jauh berbeda dengan kondisi lingkungan hari-hari ini. Sekolah sebaiknya tak lagi berperan sebagai tempat memenuhi otak penuh informasi—dengan cap “murid gagal” bagi yang tak sesuai standar. Ia harus jadi tempat di mana para murid terinspirasi untuk mencari tahu segala sesuatu.
Indonesia kini tengah menggodok kurikulum baru yang mendorong semua aspek kehidupan sebagai sumber pembelajaran. Namun, efektivitas kurikulum itu tak akan mungkin terlaksana dengan baik ketika masih ada kesenjangan antarsekolah, terlebih jika masih menggunakan Ujian Nasional sebagai salah satu indikator. Program ini dimaksudkan untuk menunjang Generasi Emas Indonesia yang ditargetkan pada 2030-2045 mendatang. Generasi ini lah yang juga akan terhubung dengan dengan kita di masa mendatang untuk sama-sama bergerak sebagai sebuah bangsa. Dan anak-anak yang dipersiapkan dengan baik melalui sekolahnya, upaya menuju generasi emas itu bukanlah angan-angan yang penuh pesimisme.
(Yesa Utomo)
0 Comments