Ketika Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak oleh bom atom, Kaisar Hirohito mengatakan:
“Berapa guru yang masih tersisa? Kumpulkan seluruh guru yang tersisa. Sebab, kepada para gurulah seluruh rakyat Jepang kini harus bertumpu, bukan pada kekuatan pasukan”.
Begitulah urgensi guru di Jepang pada 78 tahun lalu sebelum Indonesia merdeka hingga keadaan Jepang menjadi salah satu negara maju saat ini. Itu semua tidak terlepas dari eksistensi guru-guru yang menempa masa depan Jepang. Pekerjaan yang mulia dan terhormat (officium nobile) memang tepat disandang oleh para guru.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), saat ini Indonesia memiliki 3,37 juta guru untuk tahun ajaran 2022/2023 dengan 48% guru non-PNS. Berangkat dari data tersebut selalu terjadi fenomena-fenomena guru non-PNS yang mengalami ketimpangan dan merasa haknya tidak dihargai. Tidak jarang kita melihat guru-guru berdemonstrasi untuk memperjuangkan haknya yang sering kali tak selaras dengan tanggung jawab besar yang mereka emban. Ini menandakan bahwa, dalam praktiknya, eksistensi guru masih belum mendapatkan penghargaan yang sesungguhnya di negeri ini. Walaupun kita sering mendengar banyak pujian dan penghormatan terhadap guru, seperti yang terwujud dalam lagu “Hymne Guru”, tetapi sering kali itu hanya sekadar kata-kata dan kurang didukung oleh tindakan nyata. Jika kita berbicara tentang masa depan, kita sebenarnya sedang berbicara tentang generasi muda bangsa, dan guru memiliki peran penting dalam membimbing mereka, baik dari luar maupun dalam kelas. Sayangnya, terkadang kita lebih fokus pada kecerdasan generasi muda tanpa memberikan perhatian yang cukup pada guru sebagai pencetaknya.
Guru sebagai figur pencetak generasi emas haruslah terlebih dahulu menjadi seorang yang intelektual dan berintegritas. Tanpa mimpi besar dari para guru untuk kemajuan bangsa, generasi emas mungkin akan menjadi generasi ampas karena tidak adanya kilauan, semangat, dan terjebak dalam ketidakpedulian akibat kekurangan kecerdasan dan empati yang dapat memberi makna pada masa depan mereka. Menurut Stenberg, intelektual merupakan suatu kekuatan jiwa pada setiap individu; kekuatan yang mampu memberikan energi dalam pikiran manusia, kemampuan belajar dan mengambil manfaat dari pengalaman, kemampuan berpikir atau menalar secara abstrak, kemampuan untuk beradaptasi terhadap hal-hal yang timbul dari perubahan lingkungan, dan kemampuan memotivasi diri agar menyelesaikan secara tepat tugas-tugas yang perlu diselesaikan. Sungguh sangat sulit untuk didapatkan, tetapi untuk mencapai intelektual dan integritas guru haruslah memiliki kebutuhan dasar yang menurut Maslow, yakni:
- Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs)
- Kebutuhan Akan Rasa Aman (Safety/Security Needs)
- Kebutuhan Akan Rasa Memiliki dan Kasih Sayang (Social Needs)
- Kebutuhan Akan Penghargaan (Esteem Needs)
- Kebutuhan Akan Aktualisasi Diri (Self-actualization Needs) (Muhibbin, 2020)
Dari kebutuhan-kebutuhan dasar itulah menjadi acuan terbentuknya guru dengan predikat intelektual. Banyak kasus ketika kebutuhan-kebutuhan dasar seperti yang didefinisikan oleh Maslow ini tak terpenuhi. Dalam konteks ini, apakah kita seharusnya menuntut guru untuk memiliki intelektual dan integritas jika kita sendiri tidak memenuhi kebutuhan tersebut? Tak jarang kita lihat sebagian guru yang berjuang dengan kebutuhan dasar mereka sendiri. Sebagai hasilnya mereka mungkin tergoda untuk bertindak tidak benar secara etis, seperti melakukan penyelewengan dengan menjual kunci jawaban ujian, sogok-menyogok peserta didik baru, berfokus hanya pada murid yang kaya, mengajar hanya sebatas menggugurkan waktu kerja, dan lain sebagainya. Namun, kita harus ingat bahwa kurangnya intelektualitas dan integritas pada sebagian guru tidak selalu merupakan kesalahan mereka sepenuhnya. Hal ini juga terkait dengan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar mereka sehingga terjadi penyelewengan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memastikan bahwa guru memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar supaya guru dapat menjadi “Sang Intelektual” dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika semua kebutuhan dasar guru terpenuhi, mereka akan menjadi teladan yang luar biasa karena tidak melakukan tindakan yang tidak etis sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dasar. Guru akan menjadi intelektual yang bermakna dan memiliki integritas tinggi karena mereka memiliki prioritas yang kuat untuk mengembangkan potensi siswa dan tidak hanya terpaku pada kepentingan pribadi yang sudah terpenuhi. Inilah kunci keberhasilan generasi muda yang berpotensi, karena mereka akan mendapat pendidikan dari guru yang memiliki kecerdasan dan moral yang tinggi. Gagasan inilah yang menciptakan pondasi bagi “Guru: Sang Intelektual” dalam membentuk generasi emas masa depan.
Daftar Pustaka
Donatus. (2023). Kaisar Jepang, Hirohito: Masa Depan Bangsa Kita Ada di Pundakpara Guru. Lider. Diakses dari https://lider.id/artikel/16256/-Kaisar-Jepang-Hirohito-Masa-Depan-Bangsa-Kita-Ada-di-Pundak-para-Guru/
Muhibbin, M. (2020). Urgensi Teori Hierarki Kebutuhan Maslow Dalam Mengatasi Prokrastinasi Akademik Di Kalangan Mahasiswa. Jurnal Ilmu Kependidikan, 15(2), 69-80.
Ridhwan. (2023). Ada 44,19 Juta Murid di Indonesia pada 2022/2023. Data Indonesia. Diakses dari https://dataindonesia.id/ragam/detail/ada-4419-juta-murid-di-indonesia-pada-20222023
Sarnita. (2023). Jumlah Guru di Indonesia Meningkat pada 2022/2023. Data Indonesia. Diakses dari https://dataindonesia.id/ragam/detail/jumlah-guru-di-indonesia-meningkat-pada-20222023
Penulis: Glenn Bintang H. S.
Editor: Ratu Mutiara Kalbu
0 Comments