GSM

Tabula rasa yang dikemukakan oleh John Locke adalah sebuah teori yang menyatakan bahwa manusia lahir seperti kertas putih. Kertas putih itu kemudian akan berkembang dan dibentuk oleh berbagai pengalaman yang didapatkan dari lingkungan masing-masing manusia itu sendiri.

Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, kita dianugerahi keberagaman yang sudah sepatutnya diperlakukan sebagai berkah—bukan sebagai masalah. Namun nyatanya, saat ini perbedaan yang ada malah membuat masyarakat kita seolah goyah. Masyarakat kini gampang sekali terprovokasi oleh isu perbedaan agama, ras, budaya, hingga perbedaan pandangan politik.

Tidak seperti orang dewasa, anak-anak sebenarnya tidak memiliki tendensi untuk menilai dan mengotak-kotakan manusia berdasarkan agama, ras, budaya, status ekonomi maupun pilihan politik. Hal ini karena anak-anak, menurut John Locke, adalah sebuah kertas putih yang kemudian warna-warninya maupun isi dari kertas itu akan sangat bergantung dari bagaimana lingkungan dan pengalaman mempengaruhinya.

Maka dari itu, berdasarkan teori ini, bagaimana anak-anak menanggapi perbedaan kemudian akan sangat bergantung dari situasi lingkungan yang berada di sekeliling. Jika lingkungannya memandang perbedaan sebagai ancaman dan memandang bahwa golongan yang paling baik dan benar adalah golongan mereka sendiri, maka anak akan gagap dan bingung dalam memperlakukan perbedaan. Dia tidak terbiasa untuk menerima bahwa perbedaan itu adalah niscaya dan manusia, terlepas dari berbagai identitas yang melekat padanya, adalah tetap manusia yang harus dihargai keberadaan dan pemikiran-pemikirannya.

Sebaliknya, jika seorang anak hidup dalam lingkungan yang senantiasa mengenalkannya pada perbedaan, misalnya tentang bagaimana kita di negara ini hidup berdampingan tidak hanya dengan agama mayoritas saja, tapi juga terdapat agama-agama lain yang semuanya harus dihargai. Dengan begitu, ketika anak tersebut menemukan perbedaan, dia tidak kemudian gagap dan defensif terhadap perbedaan, apapun bentuk perbedaan itu. Dia akan berkembang menjadi manusia yang memiliki empati dengan kesadaran penuh bahwa perbedaan antar manusia tidak menghalanginya untuk berteman dengan siapa saja.

Terdapat sebuah cerita sederhana mengenai perbedaan yang datang dari SDN Brengosan II. Pada suatu hari, diadakan kerja bakti membersihkan sekolah. Ketika itu, seorang ibu guru membantu menyapu halaman sekolah dan kebetulan beliau mengenakan jam tangan di tangan kanannya. Menyaksikan hal tersebut seorang anak bertanya dengan lugu “Bu, kok pakai jam tangannya di sebelah kanan? Harusnya kan di sebelah kiri?”

Pertanyaan sederhana tersebut setidaknya menunjukkan bagaimana lingkungan membentuk pola pikir anak mengenai mana yang benar dan salah. Ketika anak tersebut terbiasa melihat orang-orang di lingkungannya mengenakan jam tangan di sebelah kiri, dia merasa bahwa pilihan untuk mengenakan jam di tangan kanan adalah sesuatu yang ganjil. Padahal, ini adalah masalah preferensi.

Kemudian yang terpenting adalah bagaimana peran guru sebagai pendidik mampu menciptakan lingkungan yang nyaman bagi anak-anak untuk berkenalan dengan perbedaan. Seperti yang dilakukan oleh ibu guru yang memakai jam di sebelah kanan tersebut, beliau kemudian menjawab “Ya nggak apa-apa, kan nggak ada aturannya harus pakai jam tangan di tangan yang mana? Kalau nyaman pakai di kiri ya nggak apa-apa, kalau nyamannya di sebelah kanan juga nggak masalah. Orang kan beda-beda, asal nggak mengganggu orang lain ya nggak masalah, Nak”

Dalam mengenalkan mengenai perbedaan ini, mungkin cara yang bisa ditempuh oleh guru adalah dengan menekankan nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan sehingga tidak akan tumbuh menjadi pribadi yang gemar memberikan judgment berdasarkan perbedaan, tapi tumbuh menjadi manusia yang saling menghargai satu sama lain dan gemar berbuat baik.

(Putri Nabhan)


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.