GSM

Ketika pendidikan harus beradaptasi dengan kebiasaan baru, guru-guru penggerak GSM tidak tinggal diam untuk melakukan inovasi model pembelajaran yang menyenangkan. Upaya adaptasi guru ini membuahkan inovasi model pembelajaran yang disebut dengan Home Based Learning (HBL). Guru-guru penggerak yang tergabung dalam tim kurikulum GSM menggodok model pembelajaran HBL dengan memadukan konsep sekolah homeschooling dengan kurikulum pendidikan Indonesia. Upaya ini berawal dari keresahan komunitas terhadap pelaksanaan pendidikan yang monoton dan membebankan mental anak serta orang tua selama pembelajaran jarak jauh. Sehingga, model pembelajaran ini dibuat dengan tujuan untuk menghadirkan pembelajaran menyenangkan yang dapat mengasah pendidikan karakter anak meskipun secara daring.

Model pembelajaran ini berbasis proyek dengan tetap merangkul Kompetensi Dasar yang ada di kurikulum nasional Indonesia. Contohnya proyek dari Bu Nuri, salah satu guru penggerak GSM, yaitu proyek berjualan jajanan tradisional cilok. Murid-murid Bu Nuri diminta untuk membuat jajanan tradisional cilok sendiri dengan bantuan orang di sekitar rumah masing-masing. Anak-anak diminta wawancara dengan orang tua, saudara atau tetangga tentang cara pembuatan cilok. Setelah selesai membuat, anak diminta untuk mempromosikan ciloknya sesuai kreativitas masing-masing anak. Anak diberi kebebasan memilih media apa saja untuk mempromosikan ciloknya. Melalui kegiatan tersebut, kemampuan literasi anak dapat terlatih dan kompetensi yang tergabung dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, seperti wawancara, membuat iklan, juga dapat terpenuhi. Selain itu, kemampuan numerasi anak juga dapat terasah melalui tahapan pembuatan cilok seperti berapa tepung terigu, gula, dan bahan-bahan lainnya yang dibutuhkan? Sedangkan, untuk beberapa Kompetensi Dasar yang membutuhkan pendalaman materi, Bu Nuri tetap menyediakan ringkasan materi serta mengadakan kuis melalui Google Quiz.

Dapat dilihat bahwa model pembelajaran HBL dilakukan dengan tetap menjalankan kurikulum nasional tetapi melalui penyajian yang berbeda, yaitu berbasis proyek. Mengapa harus demikian? Karena dengan cara ini lah kemampuan karakter, emosi dan empati anak dapat terasah. Contohnya ketika anak diminta untuk membagikan hasil buatan ciloknya kepada tetangga, anak-anak belajar tentang cara berbagi sehingga empati anak dapat terlatih. Ketika anak mendapat masukan dari tetangga tentang cita rasa ciloknya, anak-anak diminta untuk membuat lagi berdasarkan masukan tersebut. Disitu kegigihan dan ketangguhan anak dapat terlatih untuk membuat karya yang terus lebih baik. Fokus untuk mengisi kekosongan  pengembangan karakter anak menjadi pertimbangan utama pembuatan inovasi model pembelajaran HBL.

Selain pengembangan pendidikan karakter, anak-anak dengan model pembelajaran ini dapat belajar sesuai dengan esensi pendidikan kontekstual sehingga tidak semakin tercerabut dari lingkungannya. Serta, yang paling penting adalah model pembelajaran ini berusaha untuk tidak membebani keluarga di masa pandemi dan justru mengharapkan anak-anak dapat melatih karakter peduli dan tanggap dengan kondisi keluarga serta berusaha untuk menemukan solusi dari permasalahan yang dialami keluarga.

Mungkin sampai di titik ini muncul banyak pertanyaan mengapa guru-guru penggerak sampai berupaya untuk melakukan inovasi ini? Apakah ada yang salah dengan pelaksanaan pendidikan sebelumnya? Seperti yang telah diketahui bahwa banyak kasus anak terbebani dengan tugas yang diberikan oleh guru-guru dan orang tua kesulitan untuk menemani anak belajar di rumah. Berangkat dari permasalahan tersebut, upaya inovasi HBL dilakukan karena pemangkasan kurikulum nasional untuk kurikulum darurat akibat pandemi saja tidak cukup untuk dapat mengakomodasi perkembangan pendidikan karakter anak yang notabenenya merupakan kemampuan penting untuk bekal anak di masa depan.

Pandemi ini telah membukakan mata terhadap keadaan yang semakin sulit untuk diprediksi di masa depan sehingga bukan hanya materi tentang intelijen, tetapi juga ketahanan mental, ketangguhan anak serta kemampuan beradaptasi menjadi kompetensi yang perlu dipersiapkan sejak dini. Diharapkan melalui inovasi HBL ini, anak-anak dapat menemukan esensi pendidikan kontekstual dengan menjadikan rumah sebagai pusat pendidikan. Makna rumah dalam konteks ini bukanlah bangunannya saja, melainkan rumah sebagai suatu ekosistem yang didalamnya terdapat aktor, peran, serta interaksi.


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.