Menjadi pendidik tidak sama dengan menjadi pengajar. Mengapa dapat dikatakan demikian? Sebab upaya mendidik merupakan suatu proses panjang berkaitan dengan menanamkan karakter baik pada diri anak didik. Sedangkan mengajar merupakan aktivitas mengisi, di mana pengajar hanya menyuguhkan pengetahuan (transfer of knowledge) tanpa adanya value. Padahal di era revolusi teknologi 4.0 dengan semakin pesatnya perubahan dan kemajuan dari segala aspek kehidupan, pendidikan merupakan pondasi utama yang dapat menolong serta membekali generasi penerus bangsa untuk mampu bertahan di masa depan yang penuh dengan ketidakpastian.
Masa depan tentu tidak dapat kita prediksi, seperti yang disampaikan oleh Imannatul Istiqomah, salah satu tim GSM yang berkesempatan menjadi pembicara pada kegiatan Local Project by AISEC in UGM (11/01/2022) “Akan ada banyak pekerjaan yang saat ini masih ada, namun di depan sana belum tentu mampu bertahan serta akan muncul pekerjaan yang baru dimana saat ini dan dulu belum pernah ada”. Selain dalam aspek pekerjaan, kita juga dihadapi dengan tantangan krisis empati pada kalangan generasi muda akibat dari teknologi yang semakin pesat dan canggih ini.
Lantas bagaimana kondisi pendidikan kita saat ini?
Menurut Mbak Isti, di Indonesia pendidik masih berorientasi pada ketuntasan materi kurikulum, bukan kepada proses berpikir kritis dan membangun penalaran. Pendidik cenderung mengisi anak didik dengan pengetahuan, bukan menuntun kodrat dan kebudayaan anak didik. Tidak sedikit juga pendidik yang takut untuk melakukan ‘hal’ baru, terbelenggu pada birokrasi-administrasi. Sehingga yang terjadi anak didik merasa tertekan dan bosan dalam mengikuti proses pembelajaran, salah jurusan, dan melakukan perbuatan menyimpang.
“Pendidikan seharusnya menjadi salah satu hal yang mampu membawa anak didik untuk mengetahui siapa dirinya” ujar Mbak Isti. Namun lagi-lagi, tujuan pembelajaran kerap kali tidak relevan dengan prosesnya karena stimulus yang diberikan tidak sesuai. Karenanya GSM bergerak di akar rumput, membantu sekolah-sekolah yang berada di pinggiran untuk mengembalikan falsafah pendidikan nusantara sebagaimana yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara Bapak Pendidikan kita yakni menuntun, bertani, bermain, dan berhamba pada anak didik. Berikut penjelasannya:
Dan untuk membangun penalaran dan kesadaran diri anak didik GSM mengimplementasikan Home Based Learning (HBL) dan Social Emotional Learning (SEL) dalam proses pembelajaran di sekolah. HBL adalah sebuah model pembelajaran yang didesain dengan memanfaatkan lingkungan terdekat siswa yaitu rumah dan lingkungan sekitarnya sebagai tempat dan sumber belajar siswa. Sedangkan SEL merupakan proses pembelajaran di mana siswa dapat mengenali dan mengelola emosi, mencapai tujuan positif, menghargai perspektif orang lain, membangun dan memelihara hubungan, membuat keputusan yang bertanggung jawab, dan mengatasi permasalahan pribadi dan interpersonal secara konstruktif. Jadi, pembelajaran ala GSM berupaya untuk mengaktifkan anak didik dalam proses belajarnya dan peran pendidik hanya sebagai fasilitator yang memberi pendampingan dan memantik pertanyaan powerful yang mampu membangkitkan berpikir kritis serta membangun penalaran.
Mbak Isti dalam akhir kegiatan menyampaikan bahwa tantangan yang kita hadapi bersama di masa depan adalah bagaimana upaya yang dapat kita lakukan untuk membekali anak didik agar memiliki kemampuan berpikir kritis, penalaran yang tinggi, kemampuan berkomunikasi, berempati, memanajemen diri, termasuk mengontrol dan mengelola emosi, memiliki kesadaran diri, itu semua merupakan kodrat yang dimiliki manusia dan tidak akan pernah dapat digantikan oleh teknologi secanggih apapun. Oleh sebab itu, untuk memiliki dan meningkatkan kemampuan tersebut perlu dilatih melalui proses pendidikan.
Salam Berubah, Berbagi, Berkolaborasi
Penulis: Nazula Nur Azizah
Editor: Nida Khairunnisaa
0 Comments