GSM

Kasus kekerasan di dunia pendidikan semakin mengkhawatirkan. Selain jumlah kasus kekerasan yang meningkat, jenis serta modus kekerasannya pun semakin beragam. Pelaku kekerasan tidak hanya antara guru terhadap siswa saja, melainkan siswa terhadap guru, orang tua ke guru atau siswa, dan siswa dengan siswa. Sepanjang tahun 2019, Komisi Perlindungan Anak Indonesia menerima 153 pengaduan kasus kekerasan fisik dan psikis terhadap siswa di satuan pendidikan (Setyaningrum, 2019). Berdasarkan jejang pendidikan, mayoritas kasus terjadi di jenjang SD/sederajat yaitu mencapai 67% (Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2019). Jenis kekerasan yang terjadi seputar kekerasan mental seperti bullying, dan kekerasan fisik. Sejumlah kasus kekerasan seksual pada anak juga tak kunjung surut di awal tahun 2020. KPAI mencatat terdapat 17 kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dengan korban 89 anak, terdiri dari 55 perempuan dan 34 laki-laki (Pinandhita, 2020). Fakta yang mengkhawatirkan ini harus dipahami oleh seluruh khalayak secara sadar bahwa terdapat hal yang salah dalam satuan pendidikan kita.

Tingginya angka kekerasan tersebut mengindikasikan telah tertanamnya kultur yang secara tidak sadar telah mendukung kekerasan terhadap siswa. Kultur yang dimaksud antara lain upaya mendisiplinkan anak melalui kekerasan fisik serta mental, pencatatan pelanggaran anak, pelaksanaan masa orientasi secara militeristik, kompetisi tidak sehat dan masih banyak lainnya. Kultur seperti ini justru mematikan karakter anak karena kurangnya kebebasan untuk menggalinya.  Karakter adalah bentuk watak, tabiat, akhlak yang melekat pada diri seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi sebagai landasan untuk berpikir dan berperilaku sehingga menimbulkan suatu ciri khas pada individu tersebut (Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia, 2008). Dari situ dapat diartikan bahwa karakter merupakan sesuatu yang dapat dibentuk. Karakter anak dapat berkembang dengan baik apabila memperoleh penguatan yang tepat, yaitu berupa pendidikan  (Maunah, 2015). Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) juga telah dirumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu dalam Pasal 3 “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.” Pasal ini menjadi dasar pengembangan pendidikan karakter dalam satuan pendidikan Indonesia. Hanya saja, ketika berkaca pada data kekerasan yang telah dikemukakan sebelumnya saja, hal ini menunjukkan upaya pengembangan pendidikan karakter tersebut belum berjalan maksimal meskipun telah diagendakan dalam wacana pembangunan nasional pemerintah sejak tahun 2010.

Kultur kekerasan dapat muncul salah satunya diakibatkan oleh ekosistem sekolah yang tidak dibangun positif secara emosi dan fisik, juga tidak dibangun lingkungan yang etis. Permasalahan ini mengharuskan kita untuk merefleksikan ulang kultur-kultur negatif di sekolah dan mengusahakan untuk melakukan transformasi yang lebih positif. Seperti halnya area perubahan dalam GSM, ekosistem positif dan etis adalah perubahan yang didorong secara sadar dan merupakan prinsip perubahan pertama di GSM. Bu Lily, salah satu guru penggerak dari GSM, telah mencoba menerapkan prinsip ini dalam perubahan kebijakan Buku Pelanggaran menjadi Pohon Kebaikan. Saat beliau baru menjadi kepala sekolah di SD Kalam Kudus Yogyakarta, beliau mendapati guru-guru menerapkan buku pelanggaran yang bertujuan untuk menuliskan pelanggaran anak maupun yang dilakukan teman-temannya. Hal ini menjadikan siswa sebagai “polisi” bagi temannya. Kultur yang terjadi adalah siswa menjadi “bahagia” ketika ia menemukan kesalahan temannya untuk kemudian dilaporkan kepada guru dan dituliskan dalam Buku Hitam. Atmosfir yang terbangun justru membuat antar siswa menjadi saling curiga karena siswa lebih berfokus ke perilaku negatif dirinya dan teman-temannya. Oleh karena Bu Lily merasa ada esensi pendidikan yang dilanggar, Bu Lily memutuskan untuk menggantikan Buku Pelanggaran dengan Pohon Kebaikan. Selain terinspirasi melalui filosofi Ki Hajar Dewantara, metode ini Bu Lily temukan melalui GSM. Terdapat satu area di setiap kelas menjadi tempat untuk menuliskan kebaikan yang diterima oleh temannya. Pohon tersebut dapat berbentuk pohon, balon, atau apapun sesuai inisiatif siswa. Melalui Pohon Kebaikan ini, telah terjadi transformasi kultur di SD beliau dari yang awalnya negatif dan saling curiga menjadi lingkungan yang positif, dinamis, dan penuh sukacita. Tadinya anak-anak akan bergembira ketika menemukan temannya berbuat salah, kemudian anak bergembira penuh suka cita ketika temannya melakukan kebaikan. Bu Lily mengakui bahwa proses transformasi tersebut tidaklah mudah melainkan butuh perubahan mindset dari guru-guru, terutama bagi yang sudah berada di zona nyaman. Namun, proses transformasi ini terus dilakukan secara konsisten dengan banyak melibatkan guru-guru yang satu visi dan akhirnya menjadi ekosistem yang diyakini dan dijalani oleh sebagian besar guru-guru di Kalam Kudus (Halim, 2020).

 

 

Halim, L. (2020). Pohon Kebaikan di SD Kalam Kudus. (A. P. Pertiwi, Interviewer)

Komisi Perlindungan Anak Indonesia. (2019). KPAI: 67 Persen Kekerasan Bidang Pendidikan Terjadi di Jenjang SD. Retrieved from KPAI: https://www.kpai.go.id/berita/kpai-67-persen-kekerasan-bidang-pendidikan-terjadi-di-jenjang-sd

Maunah, B. (2015). IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN HOLISTIK SISWA. Jurnal Pendidikan Karakter, 90-101.

Pinandhita, V. (2020). 2020 Kekerasan pada anak tak menurun. Retrieved from Lokadata: https://lokadata.id/artikel/2020-kekerasan-pada-anak-tak-menurun

Setyaningrum, P. M. (2019, Desember 31). Miris! Tingkat Kekerasan di Sekolah Masih Tinggi. KPAI Terima Banyak Aduan. Retrieved from Warta Ekonomi.co.id: https://www.wartaekonomi.co.id/read264307/miris-tingkat-kekerasan-di-sekolah-masih-tinggi-kpai-terima-banyak-aduan

Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasan Departemen Pendidikan Nasional.

 

 


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.