GSM

Hapal teori dan materi pelajaran lalu mendapatkan nilai yang tinggi saat ujian tentu merupakan hal yang baik. Namun, hapalan teori dan nilai tinggi saja tidak cukup apalagi jika hal tersebut dijadikan satu-satunya indikator keberhasilan siswa di sekolah.

Baru-baru ini terdapat sebuah diskusi menarik di internet mengenai perbandingan orientasi pendidikan Indonesia dengan Eropa. Kurikulum Indonesia dianggap terlalu berfokus pada pencapaian anak-anak saat ujian. Padahal sebenarnya, menurut Nur Rizal, yang paling penting dari pendidikan adalah kenyamanan lingkungan belajar, praktik pedagogik, perkembangan karakter, serta kerjasama guru, siswa dan orang tua.

Dari diskusi tersebut, banyak hal yang menarik dan bisa menjadi evaluasi mengenai bagaimana keadaan pendidikan kita saat ini. Salah satunya mungkin kita bisa refleksikan bagaimana sekolah sebagai instansi pendidikan tidak menjadi tempat bagi siswa untuk mengembangkan potensi terbaik sebagai manusia. Ada penanaman karakter yang selalu terlewat karena menggapai nilai-nilai tinggi masih dianggap lebih bergengsi.

Ini terjadi karena sekolah di Indonesia masih menjadikan ujian mata pelajaran sebagai tujuan. Dampaknya adalah anak-anak selalu menilai kualitas diri mereka dari nilai-nilai tersebut. Lingkungan memaksa mereka untuk melakukan hal demikian. Anak-anak dipaksa untuk berkompetisi, anak-anak dipaksa menghapal teori tanpa tahu akar dari konsep yang sebenarnya sedang dipelajari. Semuanya dilakukan untuk mendapatkan nilai yang tinggi karena seolah-olah hanya dengan cara itu mereka akan dihargai.

Tidak mudah untuk menyadarkan para pendidik—juga orangtua, bahwa ada hal yang lebih fundamental ketimbang hanya mengkhawatirkan angka-angka. Lebih dari itu, yang sebenarnya dibutuhkan oleh anak-anak adalah lingkungan sekolah yang aman dan menghargai setiap proses yang ditempuh untuk mengembangkan diri.

“Prestasi yang holistik tidak didapat dari pemaksaan, tetapi menumbuhkan kesenangan siswa pada belajar sehingga mereka mampu belajar setiap saat, terlepas lokasi keberadaan mereka” tambah Novi Chandra, pada sebuah kesempatan wawancara.

Inilah mengapa menciptakan budaya sekolah yang menyenangkan menjadi penting. Anak-anak  akan mengasosiasikan kegiatan belajar sebagai hal yang menyenangkan pula. Dengan begitu, diharapkan belajar akan menjadi sesuatu yang membuat mereka ketagihan karena mereka memang senang melakukannya tanpa adanya paksaan.

Oleh karena itu, para pemangku kebijakan harus mulai memikirkan dan mempertimbangkan bagaimana cara untuk membuat lingkungan sekolah yang menyenangkan sebagai indikator dalam penilaian akreditasi sekolah. Misalnya saja, tidak hanya aspek akademis, tetapi sikap, perilaku, dan cara berpikir siswa juga harus masuk ke dalam indikator penilaian proses pembelajaran. Sehingga sekolah tidak hanya berfokus pada bagaimana untuk menghasilkan siswa yang memiliki nilai yang tinggi saja, namun juga siswa yang mampu untuk berpikir kritis, peduli terhadap sesama manusia dan saling menghargai satu sama lain.

Semangat ini lah yang sebenarnya ingin dicapai oleh Gerakan Sekolah Menyenangkan, menjadikan anak-anak sebagai subjek sehingga kultur pendidikan yang menyenangkan dan memanusiakan manusia bisa tercapai.

(Putri Nabhan)


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.