Aksi klaim kemenangan atas Pilpres 2019 masih terjadi meski belum ada rekapitulasi resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menariknya, belum terlihat tanda-tanda dari kedua kubu untuk saling mengalah dan menunggu hasil resminya. Terlepas dari kontestasi politik yang telah dianalisis oleh banyak pihak, menarik kemudian untuk menyoal sikap tidak mau mengalah tersebut. Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa seseorang bisa menjadi begitu ambisius untuk menjadi pemenang? Apa yang melatarbelakangi sikap demikian? Tentu saja, untuk menjawabnya perlu merunut sejarah individu tersebut dan sosialisasi seperti apa yang diterimanya secara terus menerus—mengingat manusia adalah entitas akumulatif (accumulative being).
Sejak kecil, sebagian besar dari kita selalu dituntut untuk menjadi yang nomor satu, pemenang, juara, dan sebagainya. Orang tua kita akan terlihat bangga ketika kita mendapat ranking satu di kelas. Memberikan hadiah berupa barang atau pujian atas pencapaian tersebut kerap dilakukan. Sebaliknya, akan tampak sedih bahkan marah ketika nilai kita di bawah rata-rata. Hukuman seperti memotong uang jajan atau dikurangi jam bermain menjadi solusinya. Hal tersebut, disadari atau tidak, telah menjadi kebiasaan tanpa perlu memikirkan sebab-akibatnya. Padahal, persaingan, hadiah, dan hukuman, sangat mungkin menjadi pisau bermata dua: ekstremnya, dapat dilihat dalam pilpres kali ini.
Iklim persaingan yang tidak sehat—dengan sistem hukuman dan penghargaan yang melatarbelakanginya, untuk generasi kita mungkin sudah terlanjur menubuh. Namun, generasi mendatang berhak untuk tidak mewarisi kebiasaan ini. Bagaimana caranya? Kita dapat memulainya dari hal-hal sederhana di sekitar kita, baik dengan anak atau adik kita yang masih kecil. Misalnya, ketika kita menginginkan anak untuk rajin belajar. Bukan lagi iming-iming imbalan atau ancaman hukuman yang akan diberikan. Kita dapat menggantinya dengan memberi penjelasan berupa kira-kira apa saja hal positif dan negatifnya dari belajar. Perlu ditanyakan juga mengenai kebutuhan apa saja kiranya yang dibutuhkan oleh anak berkaitan dengan metode pembelajaran.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah mungkin anak dapat memahami penjelasan tersebut? Bukankah justru akan memunculkan sifat manja? Ketika anak tidak merasa ditekan dan diberikan ruang untuk menyampaikan aspirasinya, sebenarnya banyak hal positif yang bermunculan. Pertama, setidaknya kita dapat memutus rantai kekerasan dalam hal memaksakan kehendak kita sebagai orang tua atau pengajar. Kedua, terciptanya ruang demokratis yang memungkinkan kita dapat mencapai tujuan bersama tanpa menonjolkan kepentingan pihak tertentu. Ketiga, iklim kompetitif yang tidak sehat itu dapat terputus mulai dari lingkaran terdekat kita. Sebab, ketika anak mau untuk belajar tanpa paksaan atau iming-iming, dengan sendirinya iklim kompetitif tersebut dapat berubah menjadi iklim yang suportif. Jika ingin memuji, pujilah sesuai dengan yang sudah diupayakan. Sebaliknya, ketika upayanya kurang maksimal, komunikasikan penyebabnya dengan anak agar mengetahui apa saja yang dapat ditambah atau dikurangi.
Maka, jika kita tidak ingin melihat lagi problematika pemilihan presiden di tahun-tahun mendatang, kita bisa mengubahnya dari sekarang mulai dari lingkaran terdekat kita. Kita masih ingat betapa sifat ksatria seorang Gus Dur ketika ia mundur dari jabatan presiden untuk membuat bangsa ini tak lagi terpecah belah. Pada titik tertentu, mengalah membawa kita pada kemenangan yang lain.
[Yesa Utomo]
0 Comments