Dalam pemaparan program di seminar, pelatihan, ataupun talk show yang dilakukan oleh Muhammad Nur Rizal maupun Novi Chandra sebagai penggagas Gerakan Sekolah Menyenangkan, selalu muncul pertanyaan-pertanyaan bernada khawatir mengenai bagaimana gerakan ini akan berimplikasi pada pencapaian akademis siswa di sekolah. Banyak orang meragukan gerakan ini karena beranggapan bahwa GSM tidak sejalan dengan beban kurikulum yang harus dipenuhi.
Mengubah pola pikir orang tua bahwa ranking anak di sekolah bukanlah sesuatu yang penting tentu tidaklah mudah. Apalagi jika selama berpuluh tahun sistem pendidikan kita memaksa anak-anak untuk berkompetisi mendapatkan peringkat terbaik. Dalihnya, sistem ranking ini berguna untuk meningkatkan motivasi dan semangat belajar siswa. Tapi apakah benar demikian?
Alih-alih menyenangkan, sejak dahulu sekolah seolah sudah diciptakan sebagai lingkungan yang penuh tekanan bagi anak-anak. Kegiatan belajar yang dilakukan di sekolah bukan menjadi sesuatu yang melahirkan rasa penasaran tentang ilmu pengetahuan, melainkan hanya sekadar untuk mencapai ranking semu yang pada akhirnya hanya menyenangkan para orang tua saja.
Hal ini seolah-olah telah mencederai esensi dari pendidikan itu sendiri. Bagaimana seharusnya pendidikan menghargai keunikan setiap anak dan memfasilitasi mereka untuk mengembangkan potensi dalam dirinya. Dengan sistem peringkat, anak-anak cenderung akan mengembangkan motivasi eksternal untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain. Padahal mungkin secara internal mereka tidak bahagia karena proses belajar yang terjadi dilakukan dengan terpaksa.
Itulah mengapa menciptakan ekosistem yang sehat bagi anak untuk belajar di sekolah adalah yang terlebih dulu harus dilakukan. Sekolah tidak boleh lagi menjadi tempat yang penuh tekanan, anak-anak harus datang dan pulang dari sekolah dengan senang. Dengan begitu, motivasi belajar yang tadinya hanya mengejar nilai dan ranking akan berubah menjadi motivasi yang lebih internal.
Sistem peringkat yang kontroversial ini sudah lama dihilangkan di SDN Ngebelgede 2. “Awalnya memang sulit dalam mengedukasi orangtua bahwa ranking anak itu tidak penting, setiap pembagian rapot selalu ada saja orang tua yang bertanya ranking anaknya. Tapi selama dua tahun ini memang terus diberi pengertian bahwa setiap anak adalah unik dan punya potensinya masing-masing,” ujar Bu Tuginem, kepala sekolah SDN Ngebelgede 2.
Nyatanya, SDN Ngebelgede 2, yang sudah mengubah metodenya sesuai pelatihan GSM, selama kurang lebih dua tahun ini memiliki banyak pencapaian akademis yang baik. Nilai anak-anak meningkat, juara OSN (Olimpiade Sains Nasional) tingkat kecamatan, bahkan SDN Ngebelgede 2 meraih juara 4 dengan nilai ujian tertinggi di Kabupaten Sleman.
“Kalau anak-anak sudah senang belajar, insyaallah prestasi akademik itu mengikuti,” tambah Bu Tuginem.
Semua pencapaian akademik oleh SDN Ngebelgede2 ini tentunya harus dipandang sebagai dampak dari suasana dan lingkungan pendidikan yang menyenangkan, bukan sebagai tujuan dari pendidikan itu sendiri. Karena semua pencapaian tersebut tidaklah berarti jika anak tumbuh dan berkembang menjadi robot yang tidak bahagia, yang tidak peka terhadap lingkungan sekitarnya, yang tidak memiliki karakter sebagai bekal kehidupan yang sesungguhnya.
Lalu pertanyaannya, jika sistem ranking dihilangkan, bagaimana cara untuk melihat keberhasilan siswa di sekolah? Mungkin salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan membandingkan antara pencapaian sekarang dan terdahulu. Hal itu dengan sendirinya akan menimbulkan motivasi bahwa untuk mengembangkan diri yang lebih baik setiap harinya. Ada jalan untuk membuat strategi dalam mengembangkan potensi.
Dengan begitu, tidak ada lagi kompetisi yang menekan, karena setiap anak akan dihargai pencapaiannya, tidak peduli seberapa kecilnya pencapaian tersebut.
(Putri Nabhan)
0 Comments