GSM

Seperti yang kita semua ketahui, bahwa pergantian Kurikulum di Indonesia bukan hal yang asing lagi untuk didengar, karena terhitung sejak tahun 1947 sampai dengan 2022 kita sudah mengalami tiga belas kali pergantian kurikulum. Namun, yang menjadi pertanyaan dan renungan kita bersama adalah apakah hanya dengan Kurikulum untuk mengubah pendidikan kita menjadi lebih baik? Apakah benar pergantian Kurikulum sebagai pembaharuan dan perbaikan sistem pendidikan kita? Nah, topik tersebut rupanya diangkat menjadi bahasan menarik dalam kegiatan Ng(k)aji Pendidikan yang memang rutin diadakan oleh Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) dan telah terselanggarakan pada Selasa, 22 Febuari 2022 melalui Zoom Meeting dan Live Youtube Gerakan Sekolah Menyenangkan.

Dalam diskusi Ng(k)aji Pendidikan yang langsung dibersamai oleh Pak Rizal sebagai Founder GSM kemarin ternyata jawabannya adalah tidak. Iya, tidak harus dengan Kurikulum untuk memperbaiki dan merubah sistem pendidikan kita yang sudah tertinggal sangat jauh dengan negara-negara OECD. Sebab yang utama untuk berubah adalah pola pikir (mindset) dalam memandang esensi dari pada pendidikan. Hal ini ditekankan oleh Pak Rizal, beliau mengatakan, peran kepala sekolah dan guru itu menjadi sangat penting dan fundamental untuk membangun kecerdasan bangsa, Kurikulum hanyalah sebagai kerangka dasar yang tidak menjamin keberhasilan pendidikan, jika gurunya tidak tau esensi dari pendidikan itu sendiri”.

GSM hadir dengan fokus pada strategi implementasi terkait dengan bagaimana jika kurikulum diterapkan di seluruh sekolah penjuru negeri, dengan corak yang berbeda-beda, dengan kualitas guru yang beragam, dengan infrastruktur yang timpang, serta dengan kesiapan dinas pendidikan daerah yang tidak selalu sama. Karenanya, GSM ingin membantu bapak ibu guru agar bisa menerjemahkan Kurikulum dengan tepat, karena tujuan dari GSM adalah membangun pendidikan yang holistik (menyeluruh: kecakapan akademis dan non-akademis, kompetensi kognitif, sosial, emosional, dan spiritual).

Bagaimana upaya yang bisa kita lakukan sebagai pelaksana dari pendidikan? Sebagai tangan kaki dari pada keberhasilan pendidikan?

GSM menjawab semua tantangan dalam pendidikan itu adalah dengan melalui pendekatan first principal thinking dari pendidikan.

Apa  first principle thingking dari pendidikan?

Apakah bangunan sekolah yang mewah?

Apakah sekolah yang terakreditasi?

Apakah dengan perubahan kurikulum?

Semua itu dijawab oleh Pak Rizal, “Saya tidak mengatakan kalau bangunan, akreditasi, dan kurikulum itu tidak penting. Itu semua penting, tetapi apakah cukup untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita? Dan jika itu tidak cukup, sebenarnya apa yang harus dilakukan? Pendidikan seperti apa yang harus bangun untuk anak-anak? Kalau di GSM pendidikan yang memberikan kesempatan bagi setiap anak untuk berkembang secara optimal menemukan versi terbaiknya. Ketika anak itu sudah menemukan minatnya, dan diberi ruang, maka anak akan terus menemukam versi terbaiknya”, ujar Pak Rizal.  

Selanjutnya yang menjadi pertanyaan kita, lalu kapan anak bisa menemukan versi terbaiknya?

“Di GSM, anak bisa menemukan versi terbaiknya. Jika anak itu bisa menemukan pengalaman belajar yang menyenangkan dan bermakna bagi dirinya”, tegas Pak Rizal. Lebih lanjut, “maka, ketika berbicara tentang pengalaman dan kebermaknaan belajar, yang dilihat adalah batin ‘rasa dalam belajar’, ketika batinnya sudah tersentuh maka anak itu akan termotivasi untuk belajar dan kasmaran dalam belajar”, sambung Pak Rizal. Kasmaran dalam belajar yang dimaksud adalah anak senang dan menikmati proses belajarnya, tidak ada tekanan didalam mencari pengetahuan dan pengalaman.

Lantas, bagaimana cara membangun first principle pendidikan?

Dalam GSM, pendekatan yang dilakukan adalah dengan membangun ekosistem atau kultur sekolah yang positif, “karena yang namanya ‘batin’ tidak hanya ada pada aktivitas pembelajaran, namanya batin itu butuh suasana yang nyaman dan lingkungan yang membuat mereka aman untuk bereksplorasi, gurunya memberi ruang untuk menuntun kodrat (rasa ingin tahu, imajinasi, keragaman”, kata Pak Rizal. Lebih-lebih, Pak Rizal juga menambahkan bahwa untuk memperbaiki dan membangun pendidikan, yang kita butuhkan adalah guru-guru yang memiliki mindset untuk berhamba pada anak, bukan birokrat. Guru yang berhamba pada anak, akan memberi ruang dan kesempatan untuk anak tumbuh dan berkembang,

Pertanyaan berikutnya, bagaimana cara membangun mindset guru? Dan hal apa yang sebenarnya bisa membuat guru-guru kita berubah?

Pak Rizal menjawab dengan tegas, “bahwa untuk kita bisa berubah adalah dengan berkomunitas, berjejaring, serawung, menjalin silahturahmi dengan teman-teman, maka dengan itu kita akan bertemu inspirasi. Dengan narasi inspirasi itu lah kemudian muncul perubahan asumsi pikiran (persepsi), dan itu yang akan menggerakan emosi lalu mengubah perilaku dan menciptakan budaya baru”.

Terakhir, mengutip dari apa yang disampaikan Pak Rizal, “orang yang selalu melakukan aksi tidak menunggu, maka dia akan bisa menciptakan banyak hal. Apalagi orang itu mau refleksi dan mempebaiki, maka dia akan menemukan titik optimal di dalam beraksi”. Jadi apa yang perlu ditunggu untuk berubah? Mari, satukan persepsi kita bahwa perubahan tidak datang dengan sendirinya, perubahan juga bukan sesuatu yang harus ditunggu. Namun, dengan berani untuk memulai, berani untuk melangkah, maka itu adalah bukti bahwa kita sedang bergerak menjemput perubahan. Dengan berbagi menginsipirasi, dengan aksi berkolaborasi.

Salam, Berubah, Berbagi, Berkolaborasi!

Penulis: Nazula Nur Azizah

Editor: Nida Khairunnisaa


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.