GSM

“—Bawa hati. Hati untuk anak-anak kita, karena mereka (anak didik) hanya butuh diberi ruang menjadi sebaik-baiknya manusia. Kalau masalah metodologi dan sebagainya, saya yakin bapak ibu jika hatinya sudah berubah, berhamba pada anak, maka metodologi itu akan bisa dicari (menemukan jalannya sendiri)”.

(Novi Candra, Co-Founder GSM)

***

Pada dasarnya konsep pembelajaran Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) mengembalikan kembali filosofi Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan, yaitu pendidikan yang memanusiakan dan memerdekakan. Pendidikan yang memanusiakan dan memerdekaan adalah konsep pendidikan yang mengantarkan anak didik pada pertumbuhan dan perkembangan dalam menemukan, mengembangkan, serta menjadikan anak didik sebagai manusia yang utuh dan penuh atas dirinya.

“—Bawa hati. Hati untuk anak-anak kita, karena mereka (anak didik) hanya butuh diberi ruang menjadi sebaik-baiknya manusia. Kalau masalah metodologi dan sebagainya, saya yakin bapak ibu jika hatinya sudah berubah, berhamba pada anak, maka metodologi itu akan bisa dicari (menemukan jalannya sendiri)”. Ujar Bu Novi. Statement tersebut sukses membuat siapapun yang mendengarnya berpikir dan merenung mengenai situasi pendidikan saat ini, terlebih di lapangan pada ruang-ruang kelas.

Pendidikan yang menghamba pada anak  menekankan pada minat, kebutuhan dan kemampuan individu, menghadirkan model dan metode belajar yang menggali motivasi untuk membangun habit anak menjadi pembelajar sejati, selalu ingin tahu terhadap informasi dan pengetahuan, suka dan senang membaca. Pembelajaran yang seperti ini sekaligus dapat mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan di era mendatang seperti kreativitas, inovatif, kepemimpinan, rasa percaya diri, kemandirian, kedisiplinan, kekritisan dalam berpikir, daya nalar yang tinggi, kemampuan berkomunikasi dan bekerja dalam tim, serta wawasan global untuk dapat selalu beradaptasi terhadap perubahan dan perkembangan.

Namun, sampai dengan saat ini pendidikan yang dicita-citakan Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hadjar Dewantara, belum sepenuhnya terlaksana karena beberapa faktor. Salah satunya berkaitan dengan persoalan administratif yang mengakibatkan pendidik terbelenggu dalam suatu sistem yang kaku. Padahal pendidikan yang memanusiakan dan memerdekakan adalah pendidikan yang berpihak dan berhamba pada anak didik dengan tujuan untuk memaksimalkan potensi minat dan bakat yang dimiliki setiap anak. Guru tidak lagi berperan sebagai sumber utama dalam pengetahuan, melainkan pendidik seharusnya berperan sebagai fasilitator yang mendampingi proses pembelajaran dan meyalani kebutuhan anak didik dengan memenuhi hal yang bisa membuat anak didik tersebut berkembang secara optimal salah satunya adalah membuat suasana nyaman untuk belajar. Sebab jika anak didik sudah nyaman maka akan memiliki perasaan yang senang dan jika sudah senang maka apapun yang diberikan untuk memaksimalkan potensinya akan tercapai.

Oleh karenanya, pendidikan yang memanusiakan dan memerdekakan memiliki esensi bahwa setiap anak didik memiliki keunikan masing-masing dan seharusnya belajar sesuai dengan kesenangan mereka. Tidak harus didikte dengan kurikulum, sistem, dan aneka mata pelajaran yang dipaksakan kepada anak didik seperti di ruang kelas konvensional pada umumnya dengan mengeksploitasi anak secara berlebihan. Sudah semestinya anak didik diberi ruang kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengeskplorasi potensi diri serta berekspresi secara kreatif serta didukung penuh oleh guru sebagai fasilitator yang melayani dan menuntun proses pengekspresian potensi-potensi anak didik agar terarah positif dan anak didik kita memukan jalannya sendiri menuju versi terbaik dari dirinya.

Salam, Berubah, Berbagi, Berkolaborasi.

Penulis: Nazula Nur Azizah

Editor: Nida Khairunnisaa


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.