GSM

Dewasa ini, diskursus mengenai perwujudan misi lingkungan belajar yang ideal dalam sistem pendidikan di Indonesia masih menjadi bahasan fundamental. Muncul banyak gagasan-gagasan mengenai bagaimana mewujudkan misi tersebut dari  berbagai perspektif, baik dari siswa, tenaga pendidik, pakar pendidikan, pemerintah, bahkan orang tua. Gagasan-gagasan ini dimaksudkan sebagai pedoman untuk mengevaluasi sistem pendidikan yang ada, yaitu dengan menganalisis berbagai aspek seperti metode pengajaran dan kurikulum. Berkaitan dengan hal tersebut, masih banyak hal yang luput dalam implementasi sistem pendidikan Indonesia, salah satunya adalah kurangnya budaya dialog kolaboratif antara guru dan siswa. Alih-alih budaya dialog guru dan siswa, pola yang terjadi cenderung satu arah (monolog). Dalam hal ini, dialog menjadi pondasi penting dalam menciptakan lingkungan belajar ideal. Hal ini disebabkan karena dengan melibatkan perspektif dan partisipasi siswa dapat menciptakan pembelajaran yang kondusif dan membuat siswa merasa kehadirannya dihargai. 

Dalam perwujudan budaya dialog, guru tentunya menjadi aktor sentral pada praktiknya. Guru mempunyai kendali terbesar dalam kelas sehingga mereka jugalah yang bertanggung jawab dalam mengorganisir jalannya pembelajaran di kelas. Kurangnya budaya dialog dua arah ini tentunya menjadi problematika baru yang memerlukan perhatian lebih lanjut oleh guru. Pada dasarnya dialog lebih dari sekadar sebuah bentuk komunikasi, tetapi lebih dari itu adalah sebuah aspek yang secara spesifik menunjukkan keberadaan manusia dalam hubungan sosial sehari-hari. Dialog juga dapat dimaknai sebagai relasi dasar yang menghubungkan eksistensi manusia itu terjadi antar individu, bukan seorang diri. Dengan demikian, dialog juga secara tidak langsung merupakan hak dasar bagi seorang manusia. Dalam ruang pembelajaran, siswa berhak atas kesempatan untuk berbicara dan menyampaikan keinginan mereka. 

Salah satu upaya untuk meningkatkan budaya dialog adalah peran guru dalam mengajukan pertanyaan yang berdaya. Pertanyaan berdaya dapat dimaknai sebagai pertanyaan yang dapat memantik rasa ingin tahu dan menciptakan pemahaman atau wawasan baru. Dari situ, ketika guru memulai pembelajaran di kelas dengan mengajukan pertanyaan berdaya, maka pola komunikasi yang muncul mendorong adanya interaksi yang lebih intens dan memungkinkan siswa untuk mengekspresikan dirinya, baik secara emosional maupun kritikal. Akibatnya, proses belajar di kelas tidak monoton dan lebih interaktif. 

Dalam menyampaikan pertanyaan berdaya sendiri, mulai dari pendekatan yang paling sederhana, misalnya “bagaimana pendapat teman-teman?”, “bagaimana hal itu bisa terjadi?”, atau “apa yang ingin diketahui lebih lanjut tentang materi/konsep ini?”. Dari situ, butuh kesabaran guru untuk mendengarkan sudut pandang siswa secara menyeluruh, karena dari pertanyaan sederhana pastinya akan mengarahkan ke pertanyaan-pertanyaan berdaya lain yang lebih kompleks. Dengan hal tersebut, proses pembelajaran di kelas dapat mendapatkan atensi penuh dari siswa. 

Namun, dalam perkembangan proses dialog di kelas, kebanyakan guru di Indonesia belum terbiasa dan kurang sabar dalam mendengarkan perspektif siswa. Pola interaksi yang terjadi pada akhirnya bukan menciptakan dialog interaktif, melainkan nasihat semata. Hal ini karena guru berasumsi bahwa ketika siswa berpendapat, maka sebagai “orang dewasa” guru memiliki tanggung jawab untuk memberi nasihat dalam ruang kelas. Di sisi lain, pola yang terjadi juga cenderung guru yang banyak mengambil intervensi ketika siswa belum sepenuhnya mengutarakan suaranya, tetapi disanggah oleh guru dengan nasihat. 

Akibatnya, siswa merasa kesulitan dan enggan dalam mengomunikasikan perspektifnya. Hal ini tentunya juga membuat siswa kehilangan minat untuk ikut berinteraksi dalam kelas. Peran guru dalam hal ini memang kompleks, mereka harus dihadapkan pada karakter dan kemampuan siswa  yang berbeda. Oleh karena itu, butuh penyesuaian dan kesabaran untuk mewujudkan hal tersebut. Jadi, harapannya guru tidak hanya menjadi sosok yang hanya memberi pengetahuan akademik saja di kelas, tetapi juga navigator pertumbuhan masing -masing siswa dalam proses menemukan potensi, bakat, dan minat yang mereka miliki. Apabila ini diimplementasikan, maka guru akan lebih mudah untuk membangun jejaring interpersonal dengan siswa dan mampu memproyeksikan kemampuan masing-masing siswa di dalamnya. 

Sekolah pada dasarnya adalah suatu proses. Proses bagi siswa untuk belajar menemukan jati diri dan potensi, juga  proses bagi guru untuk belajar menjadi navigator bagi siswa untuk mencapai tujuannya. Setiap siswa memiliki karakter yang perlu digali selama proses belajar, dan guru dapat mengambil inisiatif untuk mengetahui perasaan, preferensi, dan kendala siswa. Hal ini mendorong terjadinya komunikasi yang terbuka dan mengurangi miskomunikasi antara guru dan siswa. Penting untuk memastikan bahwa suara setiap siswa didengar dan dihargai, dan pertanyaan yang diajukan tidak berhenti pada nasihat belaka ataupun menekan agar siswa tetap memiliki atensi dalam kelas. Rutinitas dalam mengajukan pertanyaan berdaya serta mendengarkan siswa harus dijadikan sebagai sebuah “kebiasaan”. Dengan terpenuhinya hal tersebut, maka misi mewujudkan belajar yang ideal dalam sistem pendidikan di Indonesia juga akan semakin efektif.  

Penulis: Yosita Pria Agustina

Editor: Ratu Mutiara Kalbu


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.