GSM

Pemerintah Indonesia kabarnya segera kembali membuka sekolah untuk tahun ajaran 2020/2021, meski penyebaran virus korona belum benar-benar tertangani. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, sendiri memberi klarifikasi terkait kabar tersebut. “Harus diketahui bahwa Kemendikbud sudah siap dengan semua skenario. Kami sudah ada berbagai macam. Tapi tentunya keputusan itu ada di tangan Gugus Tugas (Percepatan Penangangan Covid-19), bukan Kemendikbud sendiri,” ujar Nadiem dikutip dari rilis resmi situs Kemendikbud. Dalam lanjutan rilis resmi tersebut, dijelaskan bahwa pembukaan sekolah kembali pada pertengah Juli tidaklah benar.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), setidaknya ada tiga hal yang harus dipahami sebelum benar-benar kembali menjalankan aktivitas belajar-mengajar: (1) kondisi terkini penyebaran Covid-19 dan tingkat keparahannya di populasi anak-anak, (2) situasi lokal dan epidemiologi Covid-19 di daerah sekitar sekolah, (3) lingkungan sekolah dan kemampuan untuk menerapkan upaya pencegahan serta pengendalian masyarakat.

Beberapa negara yang telah melakukan pembukaan kembali sekolah bahkan harus mengalami kenaikan angka infeksi akibat penularan. Seperti dilansir dari NBC News, Perancis mencatat 70 kasus baru yang diduga berasal dari sekolah. Sementara itu di Korea Selatan, Inggris, dan Finlandia juga mencatat temuan kasus infeksi baru di antara guru dan murid setelah pelonggaran untuk kembali ke sekolah.

Sementara itu, para saintis turut bersuara terkait wacana kembalinya para murid untuk belajar di kelas. Dr. Alasdair Munro, pakar penyakit menular pada anak di University Hospital Southampton, Inggris, mengatakan bahwa menurut studi di Kota Vo, Italia, ada sekitar 80% tes dilakukan dan ditemukan 2,8% yang terinfeksi virus korona. Dari angka itu, tidak ada yang menginfeksi anak di bawah 10 tahun. Tes ini kembali dilakukan dua minggu kemudian di Vo saat Italia mengalami puncak penularan, seperti dikutip dari The Guardian.

Studi ini digunakan oleh para saintis untuk mendukung kebijakan membuka lagi sekolah. Lebih lanjut, mengizinkan anak-anak untuk kembali ke sekolah disarankan supaya anak tidak mengalami gangguan mental karena harus berada di rumah berbulan-bulan. Selama pandemi ini masih berlangsung, kegiatan belajar di rumah justru tidak efektif dan malah menimbulkan masalah sosial yang lain.

Namun demikian, menurut Christian Drosten, salah satu pakar virus korona dari Rumah Sakit Charite di Berlin, mengatakan bahwa tidak ada perbedaan signifikan penularan yang terjadi di semua kelompok umur, termasuk anak-anak. “Berdasarkan data ini (penularan di segala usia), kita harus sangat berhati-hati untuk langsung membuka semua sekolah di situasi seperti ini. Anak-anak bisa sangat tertular, seperti orang dewasa,” ujar Drosten. Penelitian tentang virus korona masih terus berkembang di berbagai negara dan ditemui bahwa sifatnya berbeda di masing-masing daerah.

Sementara di Indonesia dengan belum optimalnya penanganan penyebaran yang dilakukan pemerintah, kembali membuka sekolah bisa saja membahayakan jutaan murid kita. Protokol kesehatan dan penanganan yang kita miliki masih kalah dibandingkan negara-negara yang disebut di atas. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada Gugus Tugas untuk tidak segan belajar dari negara lain yang sudah membuka kembali aktivitas di sekolah. Selain itu, pemerintah melalui Kemendikbud juga didorong untuk berkolaborasi dan mendengarkan saran dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), dan para orang tua murid. Tanpa ada kajian ilmiah dan jaminan keselamatan, kita tidak ingin berjudi dengan masa depan para murid.

Yesa Utomo


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.