GSM

Tempo hari lalu, saya mendapatkan kesempatan untuk mendampingi fasilitator GSM dalam workshop yang dihadiri oleh kepala sekolah dan guru-guru SD se-Kemantren Jetis, Kota Yogyakarta. Selama mengikuti kegiatan workshop GSM tersebut, jujur saya banyak belajar dari fasilitator GSM, yakni Bu Lily, Pak Sumardi, dan guru-guru sebagai narasumber, ada Bu Ammah, Bu Shinta, Pak Widodo, serta guru-guru sebagai peserta. Mereka semua adalah guru-guru yang luar biasa hebat.

Gambar 1. Pelaksanaan Workshop Menciptakan Ekosistem Sekolah melalui Gerakan Sekolah Menyenangkan

Saya dapat melihat, merasakan, sekaligus menjadi trigger untuk saya berpikir, merenungkan kembali sejatinya peran guru sangatlah penting sebagai landasan utama anak mendapatkan bekal guna menjalani hidup di masa depan. Saya merupakan calon guru yang kelak akan menjalani dan berkecimpung dalam dunia pendidikan, bahkan menjadi praktisi dari pendidikan. Karenanya, suatu kehormatan bagi saya bisa berinteraksi langsung dengan guru-guru dan belajar bersama untuk bagaimana menciptakan ekosistem kelas dan sekolah yang menyenangkan.

Saya teringat pertanyaan yang dilemparkan oleh Pak Sarmidi (Leader GSM Kota Yogyakarta), “Selama ini pendidikan kita hanya fokus untuk mengejar nilai akademis (aspek kognitif), lalu apa yang didapat?” ujar Pak Sarmidi. Sontak saat itu suasana hening untuk beberapa detik, lalu baliau melanjutkan, “yang didapat hanyalah kekecewaan, ketika anak didik tidak mampu untuk mencapai suatu target tersebut” sambung Pak Sumardi. Padahal, sejatinya setiap anak adalah individu yang unik, yang tidak bisa dipukul rata dan diseragamkan, anak memiliki warnanya sendiri, layaknya ikan yang mampu berenang di lautan bebas, dan singa yang menjadi raja di hutan, keduanya sama-sama hewan tetapi memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, begitupun manusia, anak didik kita.  

Dari sana saya tersadar, bahwa selama ini pola pendidikan yang berlaku hanya menuntut dan terus memaksa. Saya juga pernah menjadi peserta didik yang duduk di bangku sekolah dan yang diingat ketika bersekolah hanyalah perintah, seperti yang sering kita dengar “nak, kerjalan halaman 45-55, dikumpulkan besok pagi ya”.  Terus selalu begitu hingga menjadi sebuah tradisi. Anak didik dituntut untuk selalu bisa mengerjakan berbagai hal dan harus baik hasilnya. Namun apakah yang demikian bentuk dari pendidikan yang memerdekakan dan memanusiakan? Jadi, apa yang hilang dari pendidikan kita?

Saya berhasil menemukan jawaban atas pertanyaan yang telah lama saya pendam adalah pada saat workshop kemarin, pada saat saya mulai mengenal GSM, bahwasanya yang telah lama hilang dari pendidikan kita adalah karakter baik yang sebetulnya ada dalam anak didik. Karakter ini kaitannya dengan Social Emotional Learning (SEL). SEL merupakan jawaban dari segala permasalahan yang terjadi pada anak. Guru dan orang tua kerap kali lupa bahwa anak kita juga memiliki perasaan. Perasaan untuk ingin dimengerti, dihargai, diberikan ruang berekspresi, tetapi kita masih abai dan acuh untuk tidak memberikan kesempatan tersebut.

Menurut saya, sudah semestinya SEL diterapkan oleh semua guru. SEL tidak boleh dipandang sebelah mata. Mengapa? Karena berangkat dari SEL itu lah yang akan menggerakan hati untuk dapat menciptakan perubahan, membangun hubungan baik serta kedekatan antara guru dengan anak didiknya supaya tercipta ekosistem kelas dan sekolah yang menyenangkan.

Salam, Berubah, Berbagi, Berkolaborasi.

Penulis: Nazula Nur Azizah

Editor: Nida Khairunnisaa


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.