GSM

Masa pandemi adalah masa yang tepat bagi orang tua untuk mengajari anak-anaknya kebiasaan, ketrampilan ataupun ilmu baru. Fenomena belajar di rumah, membuat orang tua memiliki banyak waktu untuk mengajarkan anak-anak pekerjaan domestic seperti merapikan rumah, memasak, mencuci, berkebun, hingga bersepeda sebagai saranan olah raga. Disisi lain, sekolah juga memberi tugas-tugas ketrampilan domestic di samping mengajarkan digital literacy seperti, mengenalkan platform-platform digital untuk pembelajaran. Namun tetap orang tua yang mempunyai multiple role yaitu mengambil alih peran guru di sekolah untuk tetap mendidik bahkan mengajar karena 24 jam anak berada di rumah.

Inilah waktunya bagi orang tua untuk mengasah soft skill dan hard skill anak-anak sehingga tidak terjadi learning loss (kehilangan pembelajaran) dan anak-anak tetap berkembang dengan baik. Sebagaimna kita ketahui bahwa soft skill adalah ketrampilan yang abstrak seperti kemampuan berkomunikasi, bersosialisasi, berempati, kedisiplinan dan bekerjasama, sedangkan hard skill adalah ketrampilan nyata yang dibutuhkan pada pekerjaan tertentu misalnya memasak, mendesain, menggambar, menggunakan komputer dan sebagainya.

Mengajari anak-anak di bawah umur untuk bisa mengendarai kendaraan bermotor, adalah salah satu fenomena yang banyak terjadi di sekitar kita. Disadari atau tidak hal tersebut adalah suatu incorrect hard skill learning atau pembelajaran ketrampilan nyata yang tidak tepat, karena diajarkan pada anak-anak yang secara hukum belum diijinkan mengendarainya. Coba bayangkan anak kelas empat SD diajari naik sepeda motor matic kemudian dilepas dengan memboncengkan dua adiknya yang masih kecil tanpa menggunakan helm. Semula di jalan-jalan kampung namun lambat laut berani melewati jalan raya, berkompetisi dengan pengendara dewasa.

Orang tua berpendapat dengan mengendari kendaraan bermotor anaknya akan mandiri, tidak bergantung antar jemput, bahkan bisa disuruh-suruh untuk meringankan beban orang tua. Mengajari anak-anak bisa naik kendaraan bermotor bukanlah hal yang susah, namun hal yang memprihatinkan adalah orang tua hanya mengajarkan hard skill mengendarai sepeda motor tanpa membekali soft skillnya yaitu street manner, pengetahuan berlalu lintas dan menjaga keselamatan diri di jalan. Akhirnya yang terjadi anak –anak kecil yang nekat menerobos lampu merah, ngebut dan praktek-praktek buruk di jalanan.

UU No 22 tahun 2009 tentang lalu lintas sudah terang-terangan menjelaskan tentang syarat mengendarai sepeda motor adalah kepemilikkan SIM, sedangkan syarat kepemilikkan SIM adalah berusia 17 tahun. Dimanakah ruh peraturan tersebut? Bukankah berlalu lintas yang tertib adalah  bukti keberadaban masyarakat kita? Sadarkah bahwa kita membiarkan anak di bawah umur bermotor sama saja menghadapkan mereka pada resiko kecelakaan karena fisik dan mental anak yang belum matang?

Pada sudut pandang sustainability atau keberlanjutan pada alam, tidakkah orang tua lebih baik mengajari anak-anaknya untuk bersepeda karena anak lebih sehat bergerak, body building dan anak diajarkan bahwa saat ini masa kalian berbakti pada bumi untuk tidak menimbulkan polusi udara, mengurangi kemacetan dan ketergantungan pada bahan bakar. Bukankah pelajaran IPA mengajarkan  ini?

Fenomena incorrect  hard skill pada anak-anak berkendara di bawah umur ini merupakan PR kita untuk menyadarkan orang tua  dan anak –anaknya  untuk tahu peraturan dan sadar akan keburukkan-keburukkannya. Pemerintah, keluarga, masyarakat dan sekolah punya peran penting membangun keberadaban berlalu lintas untuk tetap menyuarakan norma –norma yang benar kepada generasi penerus untuk Indonesia yang maju.

Salam, berubah, berbagi, kolaborasi!

Penulis : Agustini Dwi Artanti

Editor : Hayinah Ipmawati


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.