Sama halnya dengan seorang murid, menjadi seorang guru merupakan perjalanan melalui berbagai proses pembelajaran. Di Katingan, sebuah daerah di tengah Pulau Borneo, perubahan konkret yang terjadi pasca penerapan Gerakan Sekolah Merdeka (GSM) di sekolah-sekolah dan komunitas guru di sana sangat memukau. Komunitas Katingan di GSM ini relatif baru, berdiri sekitar awal tahun 2023 dan mengalami perkembangan yang sangat positif.
Di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, merupakan hal yang disyukuri ketika 80% siswa hadir dalam pembelajaran di kelas. Hernedi, kepala sekolah SMPN 2 Katingan Tengah, bahkan menjelaskan bahwa pada tahun 2019, siswa hanya datang ke sekolah untuk berbincang dan bercanda ria dengan temannya, tanpa memiliki niat untuk belajar. Namun demikian, perlu disadari pula bahwa setiap siswa datang dengan masalahnya masing-masing. Oleh karena itu, butuh kesiapan hati untuk mengenal anak dengan karakter yang berbeda-beda.
Awalnya, para guru sering merasa tertekan dengan tuntutan administratif, kesulitan dalam komunikasi antar guru, dan beban kerja yang berat. Lisnawati, sebagai guru SMPN 2 Pulau Malan, merasa sedih ketika gagal mencapai target pembelajaran. Kegagalan mencapai target pembelajaran dikarenakan guru yang biasanya kita kenal ‘hanya’ sebagai seorang pengajar, rupanya bertanggung jawab pula atas berbagai pekerjaan lain. Sebagai contoh, tugas administratif menjadi tuntutan besar bagi guru yang mengajar berdasarkan kurikulum pemerintah. Permasalahan serupa dirasakan pula oleh Arbani, seorang pengawas sekolah di Kabupaten Katingan Tengah. Dalam kelas berbagi inspirasi, Arbani mengatakan bahwa tugas guru sebagai pengajar, pembimbing, dan pendidik menjadi sedikit sekali karena beban administrasi.
Permasalahan administratif berimplikasi pada berbagai aspek yang memegang peranan penting bagi performa guru. Lisnawati menyatakan, sebelum mengenal GSM, kurang terjalin komunikasi baik antara para guru maupun dengan murid. Penyebabnya tak lain adalah waktu yang terbatas dan dianggap kurang penting. Ketika tidak menyempatkan waktu untuk berbincang, maka kedekatan akan sulit pula untuk terbentuk sehingga mengakibatkan padatnya rutinitas guru terasa menjemukan. Situasi tersebut apabila dibiarkan terus menerus tentu akan membuat ekosistem belajar siswa menjadi kurang menyenangkan.
Meskipun bukan seorang guru, Arbani merasakan suasana kurang hangat ketika berkunjung ke sekolah-sekolah. Arbani menyadari bahwa kedatangan pengawas dianggap kurang penting oleh guru yang acapkali tercermin dari sikap cuek dan judes karena dianggap sebagai pencari-cari kesalahan. Setelah terjadi pergeseran prioritas administrasi menjadi berfokus pada strategi mengajar, terasa perubahan sikap guru yang mengutamakan pemahaman siswa terhadap materi.
Didukung dengan transformasi pola pikir pengawas sekolah, guru menjadi lebih terbuka terhadap perasaannya. Tidak butuh waktu lama sejak kehadiran GSM ke Kabupaten Katingan, terjalin kedekatan antara guru dengan pengawas. Bahkan, Arbani menuturkan, kehadiran para pengawas menjadi sesuatu yang dirindukan guru-guru di Katingan.
Lebih dari itu, prinsip yang melandasi komunikasi dan membangun hubungan baik dengan para komponen di sekolah adalah “menjadi guru harus bahagia dahulu”. Sebelum menuntut diri untuk produktif membimbing siswa, guru harus bisa menciptakan kebahagiaan untuk diri sendiri. Kehadiran guru bukan sebagai sosok yang otoriter dan ditakuti siswa, tetapi guru harus hadir sebagai teman yang menyenangkan, yang bisa diajak ngobrol dan bercanda bersama siswa. Komunikasi yang lebih terbuka dan berarti antarguru menghasilkan banyak pengetahuan baru dan pemahaman yang lebih baik tentang siswa dan masalah yang mereka hadapi. Para guru juga mulai melibatkan siswa dalam sesi ngobrol, sehingga mereka dapat lebih memahami karakter dan masalah yang dihadapi oleh siswa secara individual.
Inisiatif ngobrol atau berbincang tidak hanya dilakukan oleh guru kepada siswa. Seperti di SMPN 2 Pulau Malan, guru selalu meluangkan waktu untuk ngobrol bersama dengan topik bahasan baik formal maupun nonformal. Kegiatan yang rutin dilakukan setiap hari Selasa itu terbukti akan menyebarkan pengetahuan baru. Pendekatan demikian juga diterapkan oleh Hernedi. Hernedi menanyakan keluh kesah setiap guru terhadap para siswa. Ketika berhasil mengkolaborasikan keluh kesah dari teman-teman guru, maka hal itu akan menciptakan perubahan bagi perkembangan antar guru. Melalui pendekatan personal, para narasumber percaya akan terbentuk kedekatan yang kemudian melahirkan suasana yang lebih menyenangkan untuk kegiatan belajar mengajar.
Lisnawati selaku guru SMPN 2 Pulau Malan menerapkan pola pikir yang berbasis aset, yakni dari yang tadinya bersifat materialis, sekarang menjadi fokus pada hal-hal positif yang melibatkan hati dalam kegiatan belajar mengajar. Guru juga dapat memberikan penghargaan atau pujian kepada siswa ketika mereka berhasil menyelesaikan tugas dengan baik. Kemudian, perlu pula seorang guru membangun kondisi meaning, yaitu memberikan makna pada pembelajaran. Dalam tahap ini, kita dapat mengaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari siswa atau memberikan contoh kasus nyata yang terkait dengan materi pembelajaran. Kegiatan-kegiatan seperti “bintang kebaikan” yang memungkinkan siswa merasa dihargai untuk prestasi mereka, serta sesi “ngobrol” antar guru, memberikan dampak besar.
Tantangan di sekolah di Katingan adalah banyak siswa hadir dengan masalah pribadi mereka. Namun, para guru bekerja sama untuk membuat sekolah menjadi tempat yang menyenangkan bagi siswa, sehingga mereka hadir dengan sepenuh hati. Upaya seperti mengadakan “circle time” dan melibatkan siswa dalam evaluasi dan perencanaan pembelajaran telah memberikan hasil positif. Perubahan ini tidak hanya terjadi di tingkat guru, tetapi juga di tingkat kepala sekolah. Mereka mulai fokus pada pengembangan keterampilan siswa di kehidupan sehari-hari dan mengadakan kegiatan yang menghubungkan antar sekolah, seperti perlombaan dan kunjungan/studi banding.
Hernedi, kepala SMPN 2 Katingan Tengah mengaku beliau mudah memberi hukuman dan mengeluarkan kata-kata kurang baik kepada siswa yang tidak patuh. Begitu pula kepada guru yang tidak hadir, Hernedi langsung memberikan surat peringatan tanpa alasan yang jelas. Kehadiran GSM memicu refleksi Hernedi atas tindakan-tindakannya selama ini untuk sekolahnya. Sebagai imbas, ketika pandemi Covid-19 menyebar, guru hanya menyuapi murid-muridnya dengan tugas. Saat datang ke sekolah, sebagian guru pun hanya bercanda ria dengan satu sama lain tanpa mencari solusi bagi pembelajaran yang efektif. Akibatnya, banyaknya kelas kosong menumbuhkan sifat malas murid sehingga menguatkan sifat-sifat negatif murid dan membentuk perbuatan-perbuatan kurang baik yang bersifat merugikan. Kompleksitas permasalahan yang muncul sempat membuat Hernedi ingin mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala sekolah. Namun, ingatan beliau akan guru-guru senior aktif yang pernah mengajarnya saat duduk di bangku SMP, memicu kembali semangat Hernedi untuk melakukan perubahan.
Pada pertengahan tahun ini, Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) hadir dan menyapa para pahlawan tanpa tanda jasa di Katingan. Kehadiran M. Nur Rizal selaku salah satu pendiri GSM disambut antusias oleh para guru, pengawas, dan pemangku kebijakan sekolah. Namun, tak semua guru langsung menyambut baik kedatangan gerakan inovatif ini. Hernedi adalah salah satunya. Sebagai kepala sekolah yang dikenal galak, beliau menolak mentah-mentah pesan Rizal yang mengajak para guru untuk bermimpi besar. Beliau menyampaikan keberatannya akan beberapa poin dari GSM, termasuk tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Pak Hernedi memandang materi yang disampaikan Pak Rizal bertentangan dengan implementasi kurikulum tigabelas, yakni mewujudkan aksi nyata. Namun, tekad bulat untuk memajukan sekolahnya mengobarkan kembali jiwa ingin tahu.
Pasca-pelatihan GSM, Pak Hernedi juga menerapkan pendekatan kolaborasi antar guru dalam perlombaan kemerdekaan. Selain menghasilkan kemenangan, pendekatan ini berhasil meningkatkan kedekatan antar-tenaga pendidik SMPN 2 Katingan Tengah. Perlombaan ini menginspirasi salah satu guru untuk mengembangkan ketrampilan siswa di luar kelas, melalui pertandingan pula. Akhirnya, SMPN 2 Katingan Tengah menjadi tuan rumah sekaligus penyelenggara perlombaan antar-pelajar. Antusiasme para murid dan guru menjadi penanda umpan balik positif terselenggaranya lomba. Dampak terbesar adalah hubungan antar sekolah yang satu dengan yang lain, termasuk dewan guru, terjalin dengan baik di Katingan Tengah. Oleh karena peningkatan SMPN 2 Katingan Tengah memotivasi sekolah-sekolah lain, tidak sedikit sekolah yang mengajukan studi banding ke sekolah tersebut. Efek positif lainnya adalah jumlah siswa berprestasi yang meningkat, tidak hanya dalam bidang ekstrakurikuler, tetapi juga bidang kognitif.
Perubahan juga dialami oleh Arbani, M.Pdi sebagai pengawas sekolah. Pendekatan dimulai mendekati guru dengan lebih baik, mendengarkan keluhan mereka, dan memberikan dukungan yang lebih efektif. Kepala Dinas dan Dinas Pendidikan memberikan dukungan yang kuat, sehingga pengawas dapat lebih sering mengunjungi sekolah. Hal ini telah mengurangi beban administratif guru, memungkinkan mereka untuk lebih fokus pada mengajar dan membimbing murid. Perubahan yang amat terlihat adalah cara guru memperlakukan pengawas dengan lebih ramah dan hangat. Bahkan, terkadang pertemuan menjadi ajang melepas haru sebab guru-guru dapat mencurahkan kegelisahan hatinya kepada pengawas sekolah. Kejadian seperti ini tidak akan tampak jika GSM tidak hadir di Katingan sebab suasana sebaliknyalah yang selalu mendominasi ketika pengawas berkunjung ke sekolah-sekolah.
Perubahan konkret pasca penerapan GSM pada sekolah-sekolah di Katingan adalah hasil dari kolaborasi antar guru, dukungan dari birokrasi, dan perubahan sikap positif. Guru-guru di sana mulai melihat bahwa perubahan dimulai dari hal-hal kecil, dan upaya kolektif mereka telah menciptakan lingkungan yang lebih baik untuk siswa. Komunitas GSM di Katingan memiliki dukungan kuat dari birokrat setempat dan sedang mempersiapkan perubahan kebijakan pendidikan yang berlandaskan GSM. Dinas pendidikan di Kabupaten Katingan bahkan melakukan kunjungan ke Gunung Kidul, Yogyakarta untuk bertemu komunitas Gunung Kidul dan Kepala Dinas Pendidikan mengenai peraturan pendidikan dan penerapan GSM ke seluruh sekolah dalam Kabupaten. Dukungan dan penguatan Dinas Pendidikan Katingan menjadi kekuatan utama bagi para guru untuk dapat terus berinovasi memperbaiki sistem pendidikan yang ada. Perubahan terasa lebih ringan sebab digiatkan bersama-sama melalui kolaborasi.
Cepatnya revolusi pendidikan di Kabupaten Katingan membuktikan bahwa tidak harus dengan hal-hal besar untuk bisa membuat perubahan yang berarti. Bermula dari kegiatan kecil akan terlahir semangat-semangat positif baru bagi guru, siswa, dan seluruh komponen sekolah. Kegiatan kecil pun dapat membuat guru mendapatkan kebahagiaan yang kemudian memicu siswa memberikan respons positif di dalam kelas. Adanya energi positif dalam diri seorang guru berkorelasi positif dengan peningkatan motivasi siswa untuk hadir sepenuhnya dalam kelas. Selain itu, kunci perubahan masif ini adalah konsistensi dalam setiap hal-hal kecil yang dilakukan. Ketika berhasil dilaksanakan, maka tercipta rasa saling menghargai antar siswa sehingga guru dapat menyampaikan materinya dengan baik; tidak ada perundungan pada siswa; dan kedua pihak dapat memposisikan diri sebagai orang lain.
Dalam keseluruhan proses ini, perubahan yang paling berarti adalah munculnya rasa saling menghargai antar siswa dan antar guru, menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih positif dan inklusif. Selain itu, komunitas GSM di Katingan juga berusaha untuk terus berbagi pengalaman dan ide dengan komunitas GSM antardaerah, dengan harapan dapat membangun generasi muda yang lebih baik di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Sudibjo, N., & Lukita, D. (2021). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi
Belajar Siswa Di Era Pandemi Covid-19. Journal Teknologi Pendidikan. 10(1). https://uia.e-journal.id/akademika/article/1271.
Penulis: Olga Bestari S.M dan Rivai
Editor: Ratu Mutiara Kalbu
0 Comments