GSM

Baru-baru ini muncul pernyataan kontroversial dari Direktur Pembinaan Kelembagaan Perguruan Tinggi, Kemenristik Dikti, Totok Prasetyo, tentang perguruan tinggi yang diarahkan untuk membentuk sarjana yang sesuai kebutuhan industri. Ia bahkan mendorong kampus untuk tak banyak mencetak lulusan ilmu sosial dan humaniora!

Dikotomi antara ilmu sosial-humaniora dan sains terjadi di era modernitas sedang berkembang pesat. Hasilnya, spesialisasi pekerjaan dan industrialisasi besar-besaran terjadi di berbagai belahan bangsa. Contoh paling bersejarah adalah adanya revolusi industri di Inggris yang mendorong lahirnya ekspansi pabrik dan perburuhan yang tak terelakkan jumlahnya. Pada satu titik, lahirlah neo-liberalisme yang merupakan cucu dari pembagian bidang ilmu itu.

Sementara di Indonesia, pembabakan sejarah periode perkembangan zaman tak pernah benar-benar lengkap. Kita belum khatam menyelesaikan perdebatan maritim dan agraris, namun telah dijejali masuknya pola industri. Hasilnya, lahan-lahan pertanian berubah jadi pabrik ini-itu yang mengancam lapangan pekerjaan para petani. Persiapan pekerja sektor industri digenjot besar-besaran tanpa melihat efek samping dari pola developmentalis ini. Di sisi lain, teknologi baru yang menciptakan robotisasi dalam manufaktur turut menjadi ancaman baru para pekerja manusia. Namun, pendidikan kita benar-benar membentuk setiap insan sebagai sekrup industri tanpa tahu mengapa hal ini terjadi—apa yang benar-benar dibutuhkan bangsa ini. Ini telaah sederhana yang saya dapatkan dalam belajar ilmu sosial—ya, ilmu yang sedang digerus oleh bangsa ini sendiri.

Kita seakan lupa bahwa tugas pendidikan yang diselenggarakan pemerintah seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan menciptakan tenaga kerja pabrik. Orientasi industri yang dibangun Orde Baru harusnya jadi contoh yang segar di ingatan kita. Pembangunanisme yang dilangsungkan selama periode itu tak serta-merta membangun manusianya. Hasilnya justru menimbulkan masalah kultural dan sosial yang jadi bumerang bagi orde itu.

Pendidikan seharusnya memerdekakan manusia, membuatnya jadi seutuhnya mandiri, bukan malah memenjara dalam kerangka industri. Nalar tak bisa diukur dengan penggaris, kepekaan sosial tak harus saklek dengan menghafal. Ini yang harus dilibatkan dalam pendidikan salah kaprah kita. Soal bangsa ini tidak hanya perputaran roda industri yang macet, utang pemerintah yang meluber, dan juga tak terserapnya tenaga kerja. Ada banyak hoaks, benturan antarperbedaan, kesenjangan sosial, dan penerapan pendidikan yang akan jadi problem lebih besar ketika semua hal selalu dikaitkan dengan keberhasilan industri. Apa-apa yang dinamai pembangunan dan industri hanyalah alat namun jika tidak melahirkan manusia yang memiliki wawasan sosial dan daya kritis yang cukup, semuanya akan sia-sia. Ini artinya juga sesederhana melahirkan dokter yang tahu bagaimana menangi kasus kesehatan di daerah tertinggal dan pertambangan yang tak merusak alam.

Kita harus mawas diri bahwa muara dari semua upaya adalah kemakmuran dan kemerdekaan bagi manusia. Melalui kaca mata ilmu sosial, kita bisa melihat kemungkinan-kemungkinan terburuk—dan terbaik, dari sebuah upaya industrialisasi. Masalahnya, ilmu sosial tidaklah praktis dan butuh proses lama. Jelas tak sesuai dengan skema industri yang membutuhkan “jual cepat”. Selain itu, daya kritis yang ditawarkan ilmu sosial bisa menjadi penghalang stabilnya pola produksi. Ini yang dianggap berbahaya. Tampaknya kita harus kembali menilik sejarah. Tanpa ilmu sosial, Ki Hajar Dewantara—yang pernah sekolah kedokteran STOVIA, tak akan mampu memproyeksikan pendidikan yang mengeluarkan Indonesia dari kolonialisme. Tidak berpijak pada ilmu humaniora, seorang arsitek bernama Soekarno tak akan membawa kita ke gerbang kemerdekaan.

(Yesa Utomo)


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.