“Maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk kehidupan bersama adalah memerdekakan manusia sebagai anggota persatuan (rakyat)”
Ki Hadjar Dewantara
Kutipan kalimat dari Bapak Pendidikan Indonesia tersebut memunculkan sebuah pertanyaan, apakah pendidikan di Indonesia sudah memerdekakan manusia? Esensi merdeka tentu harus didapatkan lebih dahulu oleh para guru sebelum mereka dapat membimbing siswa-siswinya menuju pemikiran yang bebas dalam pendidikan. Namun, apakah para guru di Indonesia benar-benar sudah merdeka sebagai manusia untuk sejalan dengan apa yang disebut merdeka belajar? Profesi yang dianggap mulia ini penuh dengan berbagai tantangan dan hambatan yang tidak mudah untuk dilalui. Beragam masalah dan rintangan justru menghalangi guru untuk benar-benar bisa menjadi seorang pendidik yang berkualitas.
Hambatan yang membelenggu para guru di Indonesia tidak hanya datang dari satu sisi saja, tetapi dari dua sisi yang menjadikan para guru terhimpit masalah. Sisi pertama adalah hambatan struktural, hambatan ini harus dihadapi guru sebagai akibat dari kecacatan struktur dan birokrasi yang berkaitan dengan guru. Ironisnya, hal ini dapat menghambat perkembangan guru dan menghilangkan kesempatan guru untuk lebih maju. Birokrasi yang digunakan tidak selalu menyelesaikan masalah secara menyeluruh dan tenaga yang ada terkuras oleh birokrasi yang tidak terlalu substantif sehingga mengganggu tugas pokok para pendidik (Suprayogo, 2016). Di sisi lain, guru harus dihadapkan dengan hambatan kultural yang berkaitan dengan praktik budaya, keyakinan, nilai, dan norma yang cenderung berubah dengan sangat cepat. Guru kemudian dituntut untuk bisa menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Hambatan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia bukan hanya pada keterbatasan anggaran, sarana prasarana, dan jumlah personal, tetapi berkaitan erat dengan budaya, mentalitas, dan sistem nilai yang dianut oleh para pelaku pendidikan (Yasin, 2021).
A. Hambatan Struktural
- Birokrasi Pendidikan yang Tidak Profesional
Problematika birokrasi yang kaku cenderung menghambat aktivitas pendidikan yang dijalankan, terutama bagi seorang guru yang justru sibuk dengan urusan administrasi. Permasalahan tersebut menyangkut beberapa hal sebagai berikut:
a) Kebijakan
Kebijakan-kebijakan pendidikan yang ada masih berjalan secara tidak konsisten sehingga menyebabkan terjadinya interpretasi ganda, konflik regulasi, program yang tidak berjalan, dan ketidaksesuaian pelaksanaan dengan aturan yang ada (Savira dkk., 2014). Fakta nyata yang ada di lapangan adalah Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, menyebutkan bahwa pada jenjang SD, SMP, dan SMA idealnya satu guru bertanggung jawab terhadap 20 murid. Namun, fakta di lapangan satu kelas bisa diisi lebih dari 20 murid yang menyebabkan guru kurang mampu untuk mengawasi murid yang terlalu banyak. Selain itu, pada tahun 2022, 41.892 guru yang lolos seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian kerja (PPPK) tidak diangkat sebagai pegawai karena adanya masalah formasi akibat kurangnya koordinasi pemerintah pusat dan daerah (Sekar, 2022). Permasalahan ini kemudian menimbulkan masalah lagi karena pengangkatan PPPK justru mengabaikan para guru yang telah mengabdi selama bertahun-tahun.
b) Manajemen
Masalah lainnya yang dihadapi guru adalah rendahnya manajemen sumber daya manusia untuk meningkatkan kualitas guru. Program-program pelatihan yang selama ini dijalankan pemerintah belum memperlihatkan hasil nyata peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Salah satu program pemerintah seperti Program Guru Penggerak dinilai kurang efektif karena hanya menyasar sebagian kecil dari total jumlah guru yang ada. Sejatinya guru penggerak adalah seluruh guru yang ada di Indonesia, bukan sekadar status yang melekat pada sekelompok guru. Selain itu, selama ini manajemen yang diterapkan menganggap guru sebagai objek pendidikan yang hanya menerima perintah dari struktur birokrasi yang hierarkis. - Birokrasi Alot, Kesejahteraan Guru Demikian
Kesejahteraan baik secara materi maupun non-materi adalah bentuk penghargaan terhadap pengabdian para guru. Namun, apakah guru-guru di Indonesia sudah mendapatkan apa yang disebut dengan “kesejahteraan”? Realitasnya justru bisa dilihat secara kasat mata bahwa banyak guru di Indonesia belum mendapatkan hak untuk hidup sejahtera. Banyak sekali temuan dan aduan dari para guru yang termuat dalam berbagai media massa dan media sosial tentang bagaimana kecilnya pendapatan mereka dan susahnya menjadi seorang guru.
Bermasalahnya kesejahteraan guru di Indonesia banyak kita temui pada guru-guru yang masih berstatus honorer. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fauzan (2021) seorang guru honorer dengan gaji kurang lebih tiga ratus ribu rupiah dituntut untuk mengerjakan berbagai hal seperti mengajar, administrasi, akreditasi, asesmen, pelatihan kompetensi guru, dan berbagai kegiatan diluar proses belajar. Sebagian besar sekolah di Indonesia juga menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dicairkan hanya sekali dalam tiga bulan untuk membayar gaji guru honorer. Penelitian lain yang dilakukan oleh Mansir (2020) di Bengkulu menyebutkan bahwa seorang guru honorer dengan jam kerja dan tugas yang sama dengan guru berstatus ASN harus menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan bahkan harus bertani karena pendapatan yang sangat rendah.
B. Hambatan Kultural
- Stigmatisasi Status Honorer dan ASN
Menjadi seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia merupakan salah satu bentuk kebanggan tersendiri termasuk di kalangan para guru. Namun, menurut Yasin (2021) masalah yang timbul adalah ketika para guru menganggap menjadi guru ASN adalah pencapaian tertinggi (zona nyaman) yang kemudian berdampak pada prestasi, kreativitas, dan semangat belajar. Lebih lanjut ia menjelaskan kendala kultural seperti ini adalah penyebab sejumlah kebijakan pemerintah yang berpihak pada pendidikan justru tidak berpengaruh secara signifikan. Permasalahan kultural seperti ini tentu perlu mendapat perhatian khusus agar mental dan budaya di lingkungan pendidikan Indonesia bisa lebih maju. - Memburuknya Komunikasi Guru dan Orang Tua
Tugas seorang guru tidak hanya membimbing kegiatan belajar di dalam kelas, tetapi juga mampu membimbing murid-muridnya hingga di luar kelas. Untuk bisa mencapai itu maka komunikasi yang dibangun antara guru dan orang tua harus atas dasar kerja sama dan saling percaya. Apabila kedua unsur tersebut dapat dicapai maka diharapkan para murid bisa mendapatkan pergaulan sosial dan internalisasi nilai-nilai yang baik.
Namun, sayangnya banyak sekali temuan yang justru membuktikan budaya komunikasi antara dua pihak ini belum berjalan dengan baik. Pada bulan Agustus 2023 lalu beredar pemberitaan mengenai perseteruan antara orang tua dan guru akibat pihak orang tua yang merasa tidak terima anaknya dicubit oleh sang guru. Kasus lain terjadi pada bulan September 2023 di Nusa Tenggara Barat, seorang guru justru dilaporkan kepada pihak kepolisian oleh salah satu wali murid karena menghukum anaknya yang membolos di waktu sekolah. Dua kejadian tersebut setidaknya mewakilkan banyak kejadian yang membuktikan budaya komunikasi yang dibangun oleh orang tua dan guru masih sangat buruk. Akibat kejadian-kejadian seperti ini tentu mengganggu mental seorang guru yang berperan mendidik di sekolah. Apakah dengan situasi yang seperti ini kualitas pendidikan yang mumpuni bisa dicapai. - Hambatan Tak Kasat Mata bagi Guru Perempuan
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pendidikan pada tahun ajaran 2022/2023 terdapat 3,3 juta guru di seluruh Indonesia dan 70,84% dari jumlah seluruhnya adalah guru perempuan. Namun, dominasi kuantitas guru perempuan di Indonesia tidak semata-mata menunjukkan sistem pendidikan yang inklusif bagi perempuan. Guru perempuan justru mengalami hambatan dari segi norma gender, tradisi kultural, dan interpretasi agama yang dampaknya nyata bagi perempuan (Margret dkk., 2022). Hal ini bisa terjadi karena konstruksi sosial peran perempuan yang dibentuk di masyarakat masih belum inklusif. Guru perempuan harus mengemban peran sebagai seorang pendidik, ibu, dan istri. Peran guru perempuan yang cenderung beragam membuat fokusnya sebagai seorang pendidik menjadi bias sehingga berpengaruh pada kualitas mengajarnya.
Budaya pendidikan yang belum inklusif bagi para guru perempuan ditunjukkan dengan rendahnya partisipasi guru perempuan di posisi strategis seperti kepala sekolah. Berdasarkan Studi Cakra Wikara Indonesia (CWI) dari total 70% guru perempuan di Indonesia, hanya 45% yang menduduki posisi kepala sekolah di tingkat SD, 29% di tingkat SMP, dan 25% di tingkat SMA. Aturan-aturan saat ini dianggap sudah netral gender, tetapi buta terhadap kondisi kultural sebagai penghambat guru perempuan di Indonesia (Margret dkk., 2022).
Semangat Baru Bagi Para Guru
Hambatan-hambatan yang disampaikan dalam tulisan ini hanya beberapa dari banyaknya hambatan yang harus dilalui oleh guru-guru di Indonesia. Jika ditelisik lebih dalam maka akan ditemui lebih banyak pula isu dan permasalahan yang dihadapi oleh para guru saat ini. Namun, yang dibutuhkan para guru saat ini bukan sekadar mengetahui apa problematika yang sedang mereka hadapi.
Para guru perlu didukung baik secara moril dan materil dari berbagai pihak serta peran para pemangku kepentingan. Guru-guru di Indonesia membutuhkan lebih banyak suara dan dukungan dari masyarakat. Guru-Guru di Indonesia perlu melihat bahwa mereka tidak berdiri sendiri. Guru-guru di Indonesia perlu diyakinkan bahwa semangat mereka harus terus menyala. Lalu, apakah kita sudah sadar dan peduli?
Referensi
Fauzan, G. A. (2021). Guru Honorer dalam Lingkaran Ketidakadilan. Journal on Education, 197-208.
Gustiana, S., & Kurniati, P. (2023). Guru di Sumbawa Dilaporkan ke Polisi oleh Wali Murid Usai Tegur dan Berikan Tindakan Fisik pada Siswa. Diakses pada 23 Oktober 2023 melalui https://regional.kompas.com/read/2023/10/09/060000778/guru-di-sumbawa-dilaporkan-ke-polisi-oleh-wali-murid-usai-tegur-dan-beri?page=all
Mansir, F. (2020). KESEJAHTERAAN DAN KUALITAS GURU SEBAGAI UJUNG TOMBAK PENDIDIKAN NASIONAL DI ERA DIGITAL. JURNAL IKA, 293-303.
Margret, et. al. (2022). Berbagai Faktor Kultural Hambat Perempuan Jadi Kepala Sekolah : Sekadar Regulasi yang ‘Netral Gender’ Tak Cukup Jadi Solusi. cakrawikara.id. Diakses pada 23 Oktober melalui https://cakrawikara.id/publikasi/artikel/berbagai-faktor-kultural-hambat-perempuan-jadi-kepala-sekolah-sekadar-regulasi-yang-netral-gender-tak-cukup-jadi-solusi/
Prabasari, A. (2023). Emak-Emak Memarahi Guru Lantaran Tak Terima Anaknya Dicubit Sampai Memar, Guru Santai Menanggapi.tribunjateng.com.Diakses pada 23 Oktober melalui https://jateng.tribunnews.com/2023/08/21/emak-emak-memarahi-guru-lantaran-tak-terima-anaknya-dicubit-sampai-memar-guru-santai-menanggapi
Savira, et. al. (2014). Kajian Strategis Reformasi Birokrasi Sektor Pendidikan. Jakarta: Pusat Kajian Reformasi Administrasi.
Sekar, R. (2022). Puluhan Ribu Guru Lolos PPPK Tak Dapat Formasi di 2022.KumparanNEWS. Diakses pada 23 Oktober melalui https://kumparan.com/kumparannews/puluhan-ribu-guru-lolos-pppk-tak-dapat-formasi-di-2022-1zB02rR9Wwr/full
Suprayogo, I. (2016). Pendidikan: Antara Memenuhi Tuntutan Birokrasi dan Pencapaian Mutu. uin.malang.ac.id. Diakses pada 23 Oktober 2023 melalui https://uin-malang.ac.id/r/160601/pendidikan-antara-memenuhi-tuntutan-birokrasi-dan-pencapaian-mutu.html
Yasin, I. (2021). Problem Kultural Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia: Perspektif Total Quality Management. Ainara Journal, 239-246.
Penulis : Muhammad Virzian Hasbi
Editor: Ratu Mutiara Kalbu
0 Comments