Adinda dan Saija. Dua tokoh penting penceritaan Max Havelaar yang mengguncang Eropa setelah terbit tahun 1860. Bukan ceritera tentang kemewahan negeri dongeng—seperti yang disangkakan kolonialisme terhadap bangsa-bangsa Timur. Ini tentang bagaimana kolonialisme merenggut manusia.
Eduard Douwes Dekker barangkali jadi salah satu nama yang paling dihapal dalam cerita sejarah pergerakan nasional bangsa Indonesia. Tapi mengapa dia menggunakan nama Multatuli mungkin tidak pernah terlintas dalam kurikulum pendidikan sejarah. Arti namanya—yang banyak ditemukan di Google; “sudah banyak menderita” terlupakan bersama Adinda dan Saija di Lebak yang jauh dari ingar-bingar Banten.
Max Havelaar mengguncang Eropa beberapa waktu setelah terbit. Roman dengan tiga narasi yang saling bertumpuk ini membuka mata betapa buruknya pengaruh cengkeraman kolonialisme. Havelaar tidak memungkiri perdagangan kopi di negeri Belanda memiliki pengaruh luar biasa pada kerbau milik keluarga Saija. Kerbau yang jadi satu-satunya moda produksi untuk mengerjakan sawah itu harus diambil paksa oleh Bupati Banten yang waktu itu tak mau kehilangan pamor di hadapan Hindia Belanda.
Berkat karya sastra, masyarakat Eropa mulai membuka mata pada dampak yang dihasilkan oleh cengkeraman penjajahan. Kaum liberal Belanda mulai mendengungkan politik etis bagi masyarakat pribumi di Hindia Belanda. Maka mulai muncullah cita-cita untuk mendirikan “nasion” yang kini kelak dinamai Indonesia. Upaya pertama melalui diplomasi dimulai oleh organisasi pemuda pertama, Boedi Oetomo. Tanggal lahir organisasi ini kemudian didaulat sebagai Hari Kebangkitan Nasional hingga hari ini. Pendidikan jadi jawaban mereka untuk melepaskan pancang paku kolonialisme. Pendidikan pula yang mula-mula didapatkan para tokoh Boedi Oetomo dari politik etis ini. Maka tak heran, salah satu aspek yang digagaskan oleh Boedi Oetomo adalah kebudayaan alih-alih politik. Aspek yang memungkinkan orang untuk merdeka dalam berpikir dan mendudukkan dirinya di tengah-tengah masyarakat tempat ia tinggal.
Sayang, catatan perjuangan bangsa kita dalam bentuk sastra itu tak dikenalkan pada generasi sekarang. Salah satu karya yang bahkan menginspirasi penulis besar macam Pramoedya Ananta Toer hingga Y.B. Mangunwijaya. Sistem pendidikan kita memungkinkan untuk menjauhi karya anak bangsa sendiri. Padahal karya Multatuli ini bersifat timeless, tak lekang oleh waktu. Kalau mau menjelajahi, kita bisa saja menemukan Adinda dan Saija di hari ini.
Selain itu, Multatuli juga mendudukkan sejarah pada kondisi linear yang bukan hitam-putih. Darinya kita bisa belajar bahwa siapa-siapa yang berasal dari Belanda kulit putih tidak pasti bersifat jahat dan mereka yang ditandai sebagai pribumi tidak pasti baik. Max Havelaar memberikan kita refleksi bahwa ketidakadilan, penindasan, dan kesewenang-wenangan bisa saja dilakukan oleh mereka yang diidentifikasi sebangsa dengan kita.
Tidak bisa dipungkiri juga bahwa politik etis yang dibawa Pieter Brooshooft dan C. Th. van Deventer—dua orang Belanda, membawa putra-putra bangsa untuk menikmati pendidikan. Darinya, Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa yang memberikan kesempatan pada rakyat jelata untuk mendapat pendidikan seperti golongan priyayi dan Belanda. Dia merumuskan pendidikan yang sesuai dengan budaya masyarakat Jawa melalui amatannya di tengah masyarakat.
Multatuli, Boedi Oetomo, Ki Hajar Dewantara memang berangkat dari kelas masyarakat eksklusif; golongan Belanda, priyayi dan terpelajar Jawa. Tapi apa yang mereka lakukan rupanya sangat inklusif. Demi melepaskan Adinda, Saija, dan masyarakat pribumi dari jerat kolonialisme, mereka melakukan kerja-kerja pendidikan yang memerdekakan. Selamat Hari Kebangkitan Nasional.
[Yesa Utomo]
foto diambil dari potongan film Max Havelaar (1976)
0 Comments