Tidak bisa dipungkiri bahwa bulan Ramadan terekam lebih indah dalam memori ketika kita masih kecil dulu. Bulan Ramadan dalam dunia anak-anak adalah waktu ketika mereka boleh keluar malam bersama teman-teman untuk melakukan shalat tarawih di masjid. Layaknya melakukan tantangan, di bulan Ramadan juga anak-anak berlomba-lomba untuk menahan lapar dan haus paling lama diantara teman-temannya yang lain. Namun setelah berakhir, lalu apa? Apakah bulan Ramadan akan dibiarkan berlalu tanpa makna?
Berbeda dengan orang dewasa, anak-anak tidak memiliki pemaknaan ibadah yang terlalu dalam. Di benak mereka, bulan Ramadan adalah bulan yang menyenangkan karena hanya di bulan inilah mereka diberi izin keluar malam bersama teman-teman untuk shalat tarawih di masjid. Entah mereka betulan shalat tarawih dengan khusuk atau hanya datang ke masjid untuk bercanda dan jajan di pelatarannya, orang tua tetap mengizinkan anak-anak untuk keluar karena tahu bahwa mereka pergi ke tempat yang baik.
Tentunya seiring dengan berjalannya waktu, anak-anak akan mampu untuk mengembangkan pengkhayatannya sendiri terhadap esensi yang terkandung dalam bulan Ramadan. Namun, orang tua dan juga guru bisa membantu mereka untuk memahami hal tersebut sejak dini.
Contohnya adalah apa yang dilakukan oleh Ibu Oka, guru di SDN Godean yang membuat sebuah proyek bernama “15 Hari Untuk Seumur Hidup”. Proyek ini dilaksanakan 15 hari terkahir bulan Ramadan. Awalnya, beliau terlebih dahulu memanfaatkan circle time untuk wadah diskusi siswa kelas 6 mengenai kegiatan apa yang mereka lakukan untuk mengisi liburan di bulan Ramadan. Siswa kelas 6 baru saja melaksanakan ujian sehingga mereka menndapatkan banyak hari libur.
Dalam circle time tersebut Bu Oka mendengarkan jawaban-jawaban yang jujur sekaligus membuat miris. Kebanyakan anak-anak tersebut menghabiskan waktu liburannya hanya dengan tidur, bermain gawai, dan menonton TV. Setelah itu Bu Oka juga meminta mereka untuk menceritakan aktivitas ibu mereka di rumah.
“Beberapa anak memberikan penjelasan yang kurang lebih sama, bangun tidur sudah disibukkan menyiapkan makan sahur, bersih-bersih rumah, mengurus adik, belanja sayur, tanpa istirahat hingga malam” ujar Bu Oka dalam group Whatsapp ketika berbagi mengenai proyek ini.
Hal inilah yang kemudian membuat Bu Oka miris dan memberikan pertanyaan lainnya pada anak-anak. Pertanyaan itu memberikan anak-anak memikirkan kembali apakah sikap mereka yang hanya tidur-tiduran dan bermain gawai ketika ibu mereka sedang kerepotan adalah hal yang baik untuk dilakukan?
Dari pertanyaan tersebut akhirnya terjadi dialog di antara anak-anak tersebut. Dialog yang bergulir lama-lama membuat mereka menyadari bahwa mereka kurang memiliki empati ketika mereka hanya duduk-duduk santai sementara ibu mereka kerepotan bekerja.
Projek 15 hari untuk seumur hidup adalah produk dari dialog yang berlangsung dari circle time antara anak-anak bersama Bu Oka. Proyek itu berisi tantangan bagi anak-anak yang berisi aktivitas untuk menolong dan berbuat kebaikan pada anggota keluarga, pada orang di sekitar seperti tetangga dan yang terakhir berbuat baik dengan memberikan pelayanan pada masyarakat seperti membantu memberiskan masjid dan lain sebagainya. Tantangan tersebut harus didokumentasikan dalam bentuk video dan dilaporkan secara berkala kepada Bu Oka.
Dalam proyek ini Bu Oka menekankan bahwa, baik anak perempuan maupun laki-laki harus mau untuk membantu pekerjaan rumah tangga seperti mencuci piring, memasak dan menyapu. Selain membiasakan anak-anak untuk berbuat baik di bulan yang baik, hal ini juga baik untuk mengajarkan anak-anak mengenai kemandirian dan mencegah mereka untuk melanggengkan budaya patriarki di mana hanya anak perempuan saja yang seolah-olah harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik.
Kini bulan yang baik itu memang sudah berakhir, tapi semoga semua kebiasaan baik selama satu bulan penuh yang sudah dilakukan, selamanya akan tinggal.
[Putri Nabhan]
0 Comments