GSM

Banyak berita yang beredar bahwa siswa merasa stres menjalani ujian di masa PJJ ini. Ada juga fenomena siswa stres di masa ujian karena memiliki target tinggi, tapi tidak ada pendampingan guru secara fisik.

Salah satu guru penggerak GSM, Bu Anizar berusaha menjadikan ujian sebagai kegiatan yang tidak menakutkan. Selama ini, siswa-siswa menghadapi ujian dengan pikiran takut, apakah akan lulus atau tidak lulus, tapi dengan menerapkan metode ala Bu Anizar ini, siswa-siswa merasa enjoy saat mengikuti ujian. Seperti apa ujian yang diterapkan di sekolah Bu Anizar?

Bu Anizar dan tim mengganti ujian konvensional dengan evaluasi akhir projek. Itu setidaknya bermakna dua hal:

Pertama, Bu Anizar dan tim juga mengganti cara belajar konvensional dengan pembelajaran berbasis projek, di mana siswa belajar dengan cara mengeksplorasi dan membangun pengetahuan sendiri dari pengalaman mengerjakan projek. Bukan secara pasif menunggu asupan informasi dari guru, seperti pada pembelajaran konvensional.

Kedua, Bu Anizar dan tim menerapkan ujian untuk mengevaluasi proses belajar siswa selama mengerjakan projek, bukan seperti ujian konvensional yang seolah menghakimi hasil belajar siswa.

Dalam evaluasi akhir projek tersebut, siswa seperti diajak untuk merefleksikan kembali pengalaman mereka selama mengerjakan projek. Termasuk perasaan mereka saat mengerjakan projek, kendala yang dihadapi, apa yang mereka pikirkan, dan pemahaman baru apa saja yang mereka peroleh. Sebab Bu Anizar dan tim ingin menilai proses yang telah dilalui siswa, bukan nilai angka di akhir saja.

Sementara itu, menurut Bu Anizar, proses tidak bisa dievaluasi bila menerapkan ujian konvensional. Ujian konvensional hanya menghakimi apa yang terjadi di hari ujian. Sedangkan evaluasi projek mengemas pemahaman dengan lebih komprehensif.

Selain itu, menurut Bu Anizar rentetan proses pengerjaan projek sampai tahap evaluasi juga memberikan siswa pengalaman langsung yang mendalam, juga membangun karakter, seperti karakter jujur, dan kemampuan memecahkan masalah. Hal-hal yang agaknya juga dirasa kurang terwadahi oleh cara belajar dan ujian konvensional. 

“Karena kalau yang sistemnya dengan ujian konvensional abcde (pilihan ganda), mereka sebenarnya bisa aja cuma mengejar target akademik. Tapi kalo evaluasi projek kan pertanyaannya nanti akan berkaitan dengan projek yang sudah dilakukan selama tiga bulan, how do you feel-nya, terus mereka diminta untuk mencari problem solving-nya. Itu sebenarnya akhirnya memantik mereka untuk belajar mencari solusi, gitu. Bisa sih mungkin ada beberapa yang jawabannya bisa dicari di google. Tapi kan kalau mereka feel itu (ujiannya) bukan hanya apa yang mereka tau. Tapi apa yang mereka rasakan juga keluar,” kata Bu Anizar.

Perbedaan mendasar lainnya adalah bahwa evaluasi akhir projek tersebut memungkinkan para siswa belajar dengan lebih fleksibel. Para siswa mempunyai target capaian belajar mereka sendiri, tanpa diseragamkan. Sebab, dalam pengerjaan projek, ada kesadaran bahwa setiap siswa memiliki kondisi yang berbeda-beda, serta kemampuan masing-masing yang unik satu dengan yang lain. Sehingga akan lebih manusiawi bila siswa diajak untuk menentukan target belajarnya sendiri.

Di sisi lain, ketika siswa memiliki targetnya sendiri, siswa juga terdorong untuk menentukan ritme dan strategi belajarnya sendiri. Sehingga mendorong tumbuhnya karakter pembelajar mandiri.

 “Sebenarnya kita belajar konten projek ini berkaitan dengan kurikulum K13 juga ya. Kalau ngga salah di salah satu poinnya ada tentang menganalisa, mengobservasi, dan action ya. Jadi ini yang tadi aku bilang, sebenarnya kalau ditanya kelebihannya apa (belajar dan evaluasi berbasis projek), siswa-siswa sudah mendapatkan feelnya secara real, secara nyata. Mereka melakukan observasi, mereka melakukan analisis, mereka tau, dan mereka melakukan problem solving, untuk mencari solusi. Dan banyak hal yang terbangun, walaupun saya yakin terbangunnya tidak short time, tapi long time,” kata Bu Anizar.

Ketika akhirnya siswa-siswa Bu Anizar bisa menikmati evaluasi akhir projek mereka, kita bisa berasumsi bahwa proses pembelajaran berbasis projek memang dinikmati oleh para siswa. Dalam artian, mereka bisa mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna dari semua proses yang mereka lalui, bahkan tanpa kehadiran guru secara fisik. Sehingga para siswa bisa lebih siap menghadapi hari ujian.

Ketika di hari ujian para siswa tidak terbebani perasaan takut, kita juga bisa berasumsi bahwa model evaluasi akhir projek yang menghargai proses, serta tidak menghakimi siswa seperti ini lebih bisa dinikmati oleh siswa. Sebagaimana kata Bu Anizar:

“Akhirnya kita seperti mempunyai solusi untuk belajar, bahwa hasil belajar akan lebih bermakna ketika kita belajar dari pengalaman. Evaluasi projek ini juga meng-highlight bahwa, tidak semua otak manusia itu sama. Semua punya kemampuan masing-masing. Dan yang paling penting adalah bagaimana proses yang harus kita ciptakan agar siswa-siswa menghargai kemampuan mereka yang sudah mereka lakukan, membangun kreativitas, berkreasi, dan yang terakhir mereka bisa jadi lebih termanusiakan.”

Salam, berubah, berbagi, kolaborasi!

Penulis: Hayinah Ipmawati, Teguh Arya P


2 Comments

Marwanti · May 1, 2021 at 10:14 pm

GSM oke

Leave a Reply to Marwanti Cancel reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.