GSM

Di tengah berbagai macam jajanan di kantin sekolah, menyisihkan sebagian uang bekal untuk ditabung dan diberikan kepada orang yang membutuhkan pasti bukan sesuatu yang mudah bagi anak-anak. Ketika anak-anak mampu untuk melakukannya, hal tersebut harus diapresiasi dan didukung sebagai usaha untuk mengembangkan sikap prososialnya.

Selain bertemu dengan teman-teman, guru, dan suasana belajar yang menyenangkan, waktu istirahat untuk jajan juga pasti menjadi sesuatu yang membuat anak-anak semangat untuk berangkat ke sekolah. Masa anak-anak memang merupakan masa eksplorasi, termasuk eksplorasi oleh lidahnya pada berbagai jajanan yang ditawarkan (meski terkadang terdapat makanan yang tak memenuhi standar kesehatan). Sehingga tidak heran jika anak-anak senang sekali menghabiskan uang bekalnya untuk mencoba semua jajanan yang ada di sekolah.

Namun, ada yang berbeda pada anak-anak kelas 4 SDN Muhammadiyah Mantaran. Mereka bisa menyisihkan sebagian uang jajannya setiap hari lewat zona menabung. Menurut Bu Wahyu, selaku wali kelas, semua uang yang terkumpul pada botol-botol bekas yang didaur ulang menjadi celengan itu nantinya akan disumbangkan pada orang-orang yang membutuhkan.

“Misalnya saja, kemarin uangnya kami donasikan ke korban gempa bumi di Palu. Biasanya memang uangnya akan didonasikan kemana tergantung dari kesepakatan kelas waktu circle time,” tambah Bu Wahyu.

Zona menabung sebagai salah satu dari program zonasi yang diinisiasi oleh Gerakan Sekolah Menyenangkan memang pada akhirnya memiliki harapan untuk bisa menjadi stimulus sikap prososial pada anak-anak. Ini merupakan bagian dari usaha untuk membentuk anak-anak yang berkarakter dan peduli pada sesama.

Lalu apa sebenarnya sikap prososial itu? Sikap prososial secara sederhana diartikan sebagai serangkaian sikap rela berkorban yang dilakukan untuk memberikan pertolongan pada orang lain. Sikap prososial sendiri bukan sesuatu yang bisa dimiliki oleh seseorang begitu saja. Untuk bisa menguasai sikap prososial, dibutuhkan pembiasaan yang dilakukan sejak masa awal kehidupan.

Seorang wali murid yang ditemui beberapa waktu lalu membenarkan bahwa anaknya kerap menabungkan uangnya di sekolah untuk didonasikan. “Anak saya kadang nabungnya Rp.500,- atau Rp. 1000,-, dari uang jajannya. Bagus juga ya mbak untuk melatih empatinya dia kan.” ujarnya. Zona menabung memang tidak berbicara tentang nominal dari uang yang mereka tabung, terlepas dari seberapa kecil nominal tersebut, yang terpenting adalah menumbuhkan empati dan keinginan untuk menolong.

Lebih jauh lagi, berbagai literatur membahas bahwa secara motivasi, sikap prososial ini bisa dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, motivasi resiprokal. Yaitu ketika sikap prososial dilakukan karena ingin mendapatkan sikap prososial yang sama dari orang lain ketika kita nanti dihadapkan pada situasi yang membutuhkan pertolongan. Meskipun begitu, psikologi sosial menyebutkan bahwa motivasi ini nyatanya adalah sesuatu yang menciptakan keseimbangan dalam kehidupan bersosial manusia. Karena dengan begitu semua orang akan berlomba-lomba untuk saling menolong dan menularkan kebaikan.

Kedua, motivasi alturisme. Motivasi yang sudah terlepas dari berbagai alasan egoistik. Motivasi alturime terbentuk murni karena empati pada orang lain tanpa tendensi untuk mendapatkan timbal balik apa-apa.

Secara ideal tentu apa yang diusahakan oleh GSM adalah untuk menciptakan sikap prososial yang didasari oleh motivasi alturisme dari diri anak-anak. Sayangnya, orang dewasa pun belum tentu memiliki motivasi altruistik ini. Namun tentunya sebagai pendidik, kita harus terus mengusahakan penanaman nilai kebaikan tersebut, agar kelak mereka menjadi sebaik-baiknya manusia dengan sikap prososial yang tulus tanpa pamrih.

(Putri Nabhan)


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.