“Mungkinkah kita bahagia di sekolah?”
Dalam menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita membedah secara perlahan tentang apa itu konsep bahagia dan sejauh apa sekolah-sekolah di Indonesia sudah berupaya untuk mengusahakannya.
Menurut KBBI, bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan). Kalau itu adalah definisi dari bahagia, rasanya pendidikan di Indonesia belum berhasil dalam mewujudkannya. Tiap murid memang memiliki alasan untuk bersenang-senang di sekolah, tetapi hanya berasal dari pergaulan atau aktivitas yang mereka inisiasi sendiri, bukan kegiatan belajar dan mengajar di dalam kelas. Lama kelamaan, ruang kelas yang tidak mampu memberikan kebahagiaan mulai dinormalisasi sehingga para murid merasa baik-baik saja selama masih bisa berteman dan bermain selepas lonceng tanda pulang sekolah berbunyi.
Padahal, kalau kita melirik sedikit ke negara tetangga, misalnya Australia, pendidikan mereka berhasil menciptakan suasana menyenangkan sejak di dalam kelas. Bahwa ada negara lain yang berhasil mencapainya maka bukan tidak mungkin untuk Indonesia. Kondisi pendidikan di Indonesia masih berorientasi pada nilai yang distandarisasi, sementara Australia menitikberatkan fokus pendidikannya terhadap “manusia”. Fakta tersebut adalah salah satu keping pembahasan yang disampaikan oleh Muhammad Nur Rizal pada saat menyambangi Komunitas GSM Banyumas, pada Sabtu, 15 Februari 2025.

Rizal lanjut membahas tentang dampak dari orientasi pendidikan Indonesia yang masih terlena pada kuantitas materi, bukan kualitas insani. Akibatnya adalah rendahnya social emotional skills dari murid-murid di Indonesia. Hal ini dibuktikan melalui data yang didapatkan dari Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) pada tahun 2018. Angka kasus perundungan siswa di Indonesia termasuk tinggi, yaitu menyentuh 40%, sementara rata-rata negara OECD lainnya adalah 23%. Selain itu, angka pola pikir berkembang siswa di Indonesia termasuk rendah, yaitu hanya 29%. Sementara itu, rata-rata negara OECD lainnya adalah 63%. Data tersebut menjadi penguatan mengapa murid-murid di Indonesia lebih sering ketakutan, kurang puas dengan hidupnya, dan sering merasa sedih.
Dalam mengajak para guru untuk membuat kegiatan belajar dan mengajar sebagai sesuatu yang menyenangkan, Rizal berkata, “Siswa tidak mungkin bahagia kalau gurunya tidak bahagia.”
Guru bahagia yang didefinisikan GSM adalah mereka yang berhasil meraki, yaitu para pengajar yang mampu mendidik dengan cinta, kreativitas, dan sepenuh jiwa. Rasanya mustahil untuk mencapai hal tersebut, melihat bagaimana kesejahteraan guru juga tidak begitu diusahakan oleh pemerintah. Namun, Rizal mengajak para guru untuk bergerak tanpa mengandalkan pihak lain. Ia mendorong agar para guru percaya pada diri sendiri.
“Kalo mengandalkan pemerintahan, nanti ganti menteri, ganti lagi programnya. Pemerintah jangkanya pendek dan mudah diganti. Jangan mengandalkan mereka. Fokus pada kekuatan yang datang dari diri sendiri,” ungkap Rizal.
Mindset lama para guru yang mengkategorikan murid ke dalam pintar atau bodoh berdasarkan nilai ujian yang diperoleh tidak dapat digunakan lagi. Murid memiliki keunikan dan potensinya masing-masing sehingga mustahil untuk diseragamkan, apalagi ditambah penghakiman yang keji setelahnya. Guru harus berusaha untuk mengubah cara pikir itu, supaya setiap murid dapat belajar dengan nyaman dan merasa dihargai meski minatnya berbeda dari yang lain. Niscaya, rasa keingintahuan akan timbul dari situ.
“Belajar jadi menyenangkan jika menggunakan rasa ingin tahu. Kalau mau anaknya senang dan bahagia, pakailah kodrat lahiriah seorang anak, yaitu buka rasa ingin tahunya. Kaitkan masalah sehari-hari dengan literatur agar mereka sadar akan pentingnya suatu materi yang diberikan,” tutur Rizal.
“Namun, itu hanya metode. Metode bisa apapun, bebas saja sesuai dengan yang paling cocok dengan bapak dan ibu yang penting pola pikirnya sama,” tambah Rizal.
Di hadapan ratusan guru yang hadir pada pertemuan di ruangan besar Kota Banyumas itu, Rizal selalu menekankan kalo GSM tidak pernah berfokus pada metode. GSM lebih memilih untuk berfokus pada gagasan dan prinsip. Sebab, menurutnya, prinsip yang fundamental akan mampu bertahan lebih lama dan diperjuangkan hingga tahun-menahun ke depan, sementara metode lebih cepat untuk menjadi usang dan seringnya malah membatasi.
Balik lagi ke pertanyaan, “Mungkinkah kita bahagia di sekolah?”
Jawabannya, sangat mungkin. Hanya saja, semua harus diawali dari guru yang bahagia. Para guru memancarkan energi tersebut lewat pengajarannya di ruang kelas sehingga para murid yang terlibat dapat tertular. Sampai suatu saat nanti tiba masa di mana para pelajar Indonesia merindukan sekolahnya ketika libur semester melanda.
Penulis: Dimas Adytya Putranto
Editor: Viska Erma Mustika
0 Comments