Spesial untuk merayakan hari raya Idul Fitri, Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) mengadakan acara Halal bi Halal temu komunitas yang mengumpulkan berbagai GSM daerah, mulai dari GSM dari Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Jawa Barat. Hari raya kemenangan dimaknai GSM sebagai kesempatan untuk mengadakan tradisi nusantara, yaitu Halalbihalal yang ternyata bermakna dalam.
Kegiatan tersebut diadakan pada hari Sabtu, 26 April 2025 di Yogyakarta. Tepatnya di hotel Grand Malioboro Yogyakarta. Muhammad Nur Rizal dan Novi Poespita Candra turut hadir meramaikan pagelaran tersebut dengan memaparkan refleksi mengenai makna halalbihalal dan esensi spiritual dari berpuasa.

Novi membuka pemaparan dengan menyampaikan manfaat dari puasa, di mana lapar yang tertahan mampu meningkatkan kewaspadaan dan penjagaan atas emosi dapat mempertahankan kemudaan. Tidak berhenti di situ, Novi juga memaparkan tentang masalah sosial yang masih kerap dikhawatirkan oleh anak muda, melalui hasil risetnya supaya para guru sadar akan seberapa carut-marut situasi di Indonesia belakangan.
“Setelah saya melakukan riset bersama dengan Sekar, dengan mengangkat pertanyaan tentang masalah apa yang sering dialami oleh para mahasiswa sekarang, jawabannya beragam sekali. Ini membuktikan bahwa seorang individu memang amat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya,” ucap Novi.
Oleh karena banyaknya permasalahan sosial yang berkembang di masyarakat, Novi mengajak anggota komunitas GSM untuk berkontribusi seminimalnya menjadi sosok yang mau memaafkan. Lebih dari itu, Ia juga mengajak setiap individu untuk menjadi pembangun kebersamaan yang mampu menciptakan collective healing.
“Halalbihalal sejatinya menjadi kesempatan untuk pulang. Pulang untuk menyembuhkan dan menemukan kembali diri kita melalui akar yang kita miliki,” tutur Novi.
Di lain sisi, Rizal, selaku founders dari GSM banyak membicarakan mengenai makna puasa yang dikemas melalui pengaitan antara sejarah dan isu terkini.
“Tadi Novi sudah bilang, halalbihalal adalah sebuah upaya kembali pulang. Saya tambahin. Menariknya, halalbihalal adalah sebuah tradisi nusantara. Dahulu, pada tahun 1945 – 1949, di mana banyak politisi saling bertengkar, halalbihalal dipilih sebagai ajang untuk mengonsolidasikan segala pertentangan. Tidak menggunakan istilah silaturahmi karena beragamnya kepercayaan yang dimiliki para politisi di zaman itu,” buka Rizal.
“Hal tersebut adalah upaya orang Indonesia untuk memegang teguh budaya lokal, supaya ada martabat berdasarkan perangai lokal. Muncullah halalbihalal,” tambah Rizal.
Tentang makna saling memaafkan, Rizal menyampaikan kalau hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan surga dari Allah dan mampu mengembalikan diri kepada kodrat lahiriah dan hakikat dari manusia, yaitu kebenaran, kebaikan, dan kemanusiaan.

Melalui kesempatan ini, Rizal kembali menggaungkan tentang keunikan jiwa manusia di dalam tatanan tiga jiwa kemenangan. Bahwa manusia memiliki jiwa intelektual, salah satunya lewat prefrontal cortex untuk menghadapi masa depan dan ruang kosong berupa kerohanian yang erat kaitannya dengan jiwa spiritual.
Puasa adalah sebuah proses manusia dalam melatih spiritualnya untuk dapat menjaga hasrat, keinginan, dan emosi. Selain itu, juga untuk melepaskan ikatan pada kebendaan dan jasmaniah.
“Kita coba ingat pertemuan antara Ki Hajar dengan Montessori. Montessori mengatakan kalau kunci pendidikan adalah ex ducare yang jika diterjemahkan maka berarti keluarkan potensi lahiriah,” tegas Rizal.
“Dari situ, seharusnya kita paham kalau guru itu bukan mengajar, mengisi pengetahuan, ataupun menilai, tetapi edukasi itu membangkitkan potensi lahiriah dari setiap murid secara maksimal. Tugas guru memiliki kemiripan dengan bidan yang mengeluarkan bayi dari ibunya,” tambahnya.
Kisah Ki Hajar Dewantara yang enggan untuk diangkat menjadi raja karena memilih untuk menjadi guru saja agar dapat langsung turun ke lapangan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah kebijaksanaan yang terus diangkat Rizal.
“Pendidikan tidak lahir karena jabatan atau politik, bukan dari keterikatan dengan kebendaan, melainkan dari spirit yang berteguh untuk memerdekakan jiwa rakyat dari kolonialisme. Sayangnya, pendidikan kita masih mengukur birokrasi dari kebendaan untuk laporan administrasi,” pungkas Rizal.
“Ki Hajar Dewantara hanya sebentar menduduki posisi jabatan sebagai Menteri Pendidikan karena adanya perbedaan pendapat dengan Soekarno. Di mana Soekarno menjadikan pendidikan sebagai produsen agen negara dalam melakukan pembangunan nasional, sementara itu Ki Hajar beranggapan kalau pendidikan harus dapat membantu manusia seutuhnya,” tambahnya.
Di akhir pemaparannya, Rizal mengapresiasi jiwa intelektual dari para anggota komunitas GSM yang terus aktif hingga kini. Ia yakin, perjuangan GSM yang konsisten akan membuat para pemangku kepentingan tersadarkan.
“Intelektual rohani dari Tuhan adalah anugerah yang membantu GSM tidak layu hingga sekarang,” tutup Rizal.
Penulis: Dimas Adytya
Editor: Viska Erma Mustika
0 Comments