Efisiensi APBN di tengah niat negara Indonesia dalam mengejar kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni pada tahun 2045 merupakan kontradiksi yang patut dipertanyakan. Pendidikan di Indonesia dikhawatirkan mengalami stagnasi karena program-program harus dikompromikan dengan sumber dana yang seadanya, seperti pada pengembangan kurikulum atau peningkatan profesionalisme guru.
Padahal, berdasarkan penghitungan yang dilakukan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Indonesia masih berada di posisi yang mengkhawatirkan pada penghitungan PISA 2022, yaitu urutan ke-69 dari 80 negara yang ikut serta. Data tersebut diikuti fakta bahwa 70% kapasitas literasi, logika berpikir, dan kemampuan memecahkan masalah murid SMA masih berada di bawah kompetensi minimum. Mirisnya, kondisi ini sudah bertahan selama 20 tahun, yaitu sejak pertama kali diukur.
Founder dari Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal, tetap mengajak guru-guru di Indonesia untuk optimis dalam menanggapi isu tersebut. Sebab, ia meyakini kalau kualitas pendidikan lebih ditentukan oleh kualitas pengajarnya daripada kurikulum atau faktor eksternal lainnya. Guru yang berkualitas akan mampu menginspirasi murid-muridnya untuk mencintai ilmu pengetahuan dan memberi dampak lifelong learning, ketimbang guru dengan kualitas biasa, sekalipun mereka menggunakan sistem kurikulum yang canggih.
Kualitas guru juga amat ditentukan oleh paradigma yang selaras dengan tujuan moral pendidikan. Ketika sudah sesuai, baru kemudian, teknis mengajar dan konten kurikulum akan menyusul. Paradigma pengajar yang dimaksud adalah berjiwa merdeka dan optimis dalam kondisi apapun, termasuk efisiensi APBN.
Pada hari Sabtu, 22 Februari 2025, Muhammad Nur Rizal kembali diundang untuk membagikan gagasannya mengenai peran guru terhadap generasi masa depan. Acara Ngkaji Pendidikan kali ini dilakukan di Sekolah Dasar Bukit Akasia, Kota Sumedang sedari pukul setengah delapan pagi hingga dua belas siang waktu setempat.

Sekitar 400 guru dari berbagai kota, seperti Bandung, Bogor, Cirebon, Pangandaran, Sukabumi, Tangerang, Tegal, Rembang, Pekalongan, Yogyakarta, Semarang dan lainnya turut hadir untuk mendengarkan penuturan Rizal akan pentingnya sejarah, akar pemikiran, dan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh para pahlawan pergerakan kemerdekaan.
“Sayangnya, kita tidak pernah membaca bukunya Kartini. Kita hanya memperingati perjuangannya sebagai pahlawan, tetapi tidak pernah mengambil esensi, nilai, dan pelajaran yang dilakukannya,” tutur Rizal.
“Padahal R. A. Kartini itu mengajarkan agar para pendidik melakukan pengajaran terhadap budi dan jiwa. Ia meyakini kalau mencerdaskan pikiran saja tidak cukup karena tidak akan membuat orang hidup susila dan berbudi pekerti baik,” tambahnya.
Rizal menyampaikan rasa sedihnya akan masyarakat saat ini yang sekadar menjadikan para pahlawan sebagai menjadi bahan perayaan saja, bukan didalami nilai-nilai perjuangannya. Ia juga mengajak para guru untuk tidak perlu jauh-jauh mencontoh budaya luar negeri tentang pendidikan karakter karena Bangsa Indonesia sudah memiliki banyak tokoh pejuang yang menggaungkan nilai pendidikan luhur.
“Dari dulu tokoh kebangsaan kita kan sudah mengajarkan misalnya ada pemikiran akan materialisme, dialektika, dan logika atau Madilog oleh Tan Malaka. Padahal itu sama saja dengan metode STEAM (Sains, Teknologi Keteknikan, Seni, dan Matematika) yang kini disebut sebagai Project-based Learning,” ucap Rizal.
“Materialisme itu artinya pembelajaran harus berbasis data, fakta, dan kenyataan, bukan lewat mitos atau mistis. Dialektika adalah cara kita memaknai dinamika kehidupan atau bisa juga disebut sebagai berkomunikasi dan berkolaborasi. Sedangkan, logika adalah nalar ilmiah yang dipakai sebagai alat untuk mendialektikan fakta dan data lapangan agar mampu menangkap gerak dinamis akan kehidupan secara ilmiah. Itu semua yang disampaikan Tan Malaka dalam tulisan-tulisannya,” tambah Rizal.
Rizal menyatakan bahwa untuk membenahi pendidikan di Indonesia maka kesadaran kritis dan kemandirian intelektual para murid adalah hal yang perlu untuk dibangun. Ia juga secara lantang mengajak para guru untuk merdeka seratus persen, tidak menyandarkan hidup pada sesuatu yang bersifat kebendaan, persis dengan apa yang diperlihatkan Tan Malaka.
“Dahulu, cara para kolonial menjajah kita adalah dengan menipu rakyat Indonesia lewat mitos, takhayul, ataupun logika mistika. Itu bisa dilakukan karena mental rakyat kita saat itu masih terjajah dan tergantung. Jangan sampai itu terulang, bacalah banyak buku tentang apapun agar kita kaya akan perspektif. Kenali dirimu sendiri dan jangan mudah direndahkan oleh orang lain. Sebaliknya, kita juga jangan merendahkan orang lain,” pungkas Rizal.
Berikutnya, kurikulum juga tidak lolos dari pembahasan. Rizal mengingatkan kalau sebaiknya para guru tidak terkekang oleh kurikulum. Ia menyatakan kalau kurikulum hanyalah alat, bukan kitab suci yang menjadi pedoman tidak tergantikan. Menurutnya, guru adalah sang kurikulum itu sendiri yang semestinya dijalankan dengan mindset dan paradigma yang benar, yaitu melibatkan jiwa dan cinta.
Rizal juga berpesan agar para guru jangan menjadi “ikan mati yang terseret arus”, melainkan harus menjadi “ikan hidup yang sesekali ikut atau melawan arus”. Ia mengatakannya karena masih banyak guru yang menggantungkan diri pada sesuatu yang sementara, seperti kurikulum atau program pemerintah.

Dengan jiwa yang merdeka, selain guru menjadi sang kurikulum, mereka juga dapat menjadi teladan di depan atau pendorong di belakang untuk membangkitkan perubahan yang baik dan sabar dalam berproses untuk menentukan nasibnya sendiri di tengah terpaan isu efisiensi anggaran pendidikan.
“Bersabar bukan dengan menerima hasil apa adanya. Bukan nrimo sebagai mitos yang ditanamkan kolonial, tetapi bersabar dalam menjalankan prosesnya,” imbuh Rizal.
“Administrasi tetap harus diselesaikan, bagus bila dapat terbantu oleh bantuan teknologi. Supaya anda bertanggung jawab sebagai abdi negara, tetapi jangan sampai hal itu membuat Bapak dan Ibu guru lupa untuk mengajar dengan budi dan jiwa,” tambahnya.
Rizal juga mengatakan bahwa perjuangan perlu dilakukan secara kolektif di dalam wadah atau rumah pergerakan agar rasa optimis dan kepercayaan akan muncul.
“Dalam berjuang sebagai seorang guru, kita harus optimis. Optimisme itu akan menumbuhkan kasih sayang dan empatik sehingga menjadikan kita pribadi yang merdeka. Pribadi yang mau mengubah keadaan,” ungkap Rizal.
“Kita harus sadar diri. Berdampaklah sesuai dengan kebisaan kita. Hal yang terpenting adalah guru harus mampu menuntun kodrat, memantik rasa ingin tahu, mengajak siswa berimajinasi tentang masa depan, dan berusaha memahami kondisi siswanya melalui refleksi,” tambahnya.
Ketika sudah berhasil menerapkannya maka guru berhasil meneguhkan perannya sebagai pahlawan. Pejuang yang menyelamatkan generasi masa depan dari kekeliruan arah. Kaum yang proaktif berkontribusi bagi kemajuan zaman dan tidak hanya menjadi penonton atas hancurnya peradaban.
“Jangan sampai atas nama kurikulum, metode, atau administrasi malah menghambat keinginan berpikir anak-anak kita. Soalnya, berpikir adalah kodrat alamiah manusia. Jika itu terjadi maka akan menjadi dosa. Jadikan anak berdaulat agar bisa memberi dampak kepada sekitar,” tutup Rizal.
Seorang guru di SMK Negeri yang juga merupakan pegiat GSM Jawa Tengah, Muhammad Ali Sodikin menyampaikan komentarnya terkait acara Ngkaji Pendidikan.
“Ngkaji bukan sekadar forum, tetapi merupakan perjalanan batin seorang pendidik menemukan dirinya sendiri. Ngkaji Pendidikan menyadari para guru bahwa mendidik bukan hanya tentang mengajar, tetapi untuk menjadi manusia yang lebih utuh,” ucapnya.
Berikutnya adalah pendapat dari salah satu pegiat GSM Tangerang Selatan yang kerap disapa dengan panggilan “Kang Sis” terhadap cara membenahi pendidikan Indonesia.
“Untuk saya, memperbaiki pendidikan tidak selamanya harus melalui pemberontakan, tetapi cukup dengan berani bertindak. Tindakannya dapat dilakukan lewat dialog, inovasi, dan aksi nyata,” pungkas Kang Sis.
Efisiensi anggaran terutama untuk ranah pendidikan memanglah mengkhawatirkan. Tidak hanya kualitas pendidikan, kesejahteraan para pengajar juga bisa terdampak imbasnya. Layangan protes boleh saja dilakukan oleh para guru, asal jangan sekalipun menyerah pada keadaan karena dengan para guru tetap berjuang dan bergerak maka itu merupakan bukti nyata bahwa mereka adalah individu yang merdeka. Insan yang tidak terikat pada jeratan kebendaan yang membelenggu.
Penulis: Dimas Adytya Putranto
Editor: Viska Erma Mustika
0 Comments