Oleh: Muhammad Ali Sodikin (Pegiat GSM Jateng)

Pelaihari, 26 Juni 2025
Saya ingin ke Tanah Laut. Bukan untuk mengajar, bukan untuk memberi, tapi untuk saling bercerita, saling mendengarkan… supaya nyala itu tidak padam.
Awalnya hanya niat kecil. Niat yg sederhana: ingin bersilaturahim. Bertemu langsung dengan para pegiat GSM di Tanah Laut, orang-orang yang selama ini hanya saya lihat dari layar Zoom, tapi energinya terasa nyata, walauu dari jauh dan berbeda selisih waktu.
“Melalui GSM, saya seperti terlahir kembali sebagai guru.”
Saya masih ingat betul satu nama Bu Sri Rahma. Dalam setiap pertemuan daring GSM, sorot matanya seperti punya nyala baru. Beliau pernah berkata, “Melalui GSM, saya seperti terlahir kembali sebagai guru.” Kalimat itu menancap dalam. Dan sejak itu, saya tahu: saya ingin ke Tanah Laut. Bukan untuk mengajar, bukan untuk memberi, tapi untuk saling bercerita, saling mendengarkan… supaya nyala itu tidak padam.
Saya hubungi Mas Anang dan Bu Dyah, selaku pegiat komunitas GSM Tanah Laut. Saya sampaikan maksud saya, hanya ingin silaturahim saja, dengan keinginan sendiiri, biaya sendiri, tanpa instruksi, tanpa perintah dari siapapun, dan teman-teman di Tanah Laut tidak perlu repot mempersiapkan apapun.
Tapi ternyata niat kecil itu bergulir menjadi gelombang yang lebih besar. Beberapa hari kemudian, Bu Dyah mengabari saya bahwa niat silaturahim ini akan disambut oleh Dinas Pendidikan, bahkan didukung penuh oleh Pak Kasi, Pak Kabid, dan disetujui oleh Pak Kadis. Dalam bentuk BIMTEK. Saya terdiam, speachless, kaget, sekaligus terharu. Dari yang semula hanya ingin saling menguatkan sesama pegiat, malah menjadi ruang resmi pembelajaran & penguatan komunitas. Allah memang punya cara mengatur setiap langkah hamba-Nya.
Awalnya saya ajak Pak Riyanto, pegiat Komunitas GSM Pekalongan, beliau bersedia. Namun menjelang hari H, beliau harus batal karena satu dan lain hal. Saya panik. Pak Kasi menunggu nama fasilitator untuk dibuatkan surat. Dalam keraguan itu, saya konsultasi dengan Bu Yayah, pegiat komunitas GSM Cirebon yang merekomendasikan nama Pak Riyanto. Akhirnya, saya hubungi beliau. Tanpa banyak tanya, saya meminta beliau menggantikan Pak Riy, karena waktu mepet, dan saya percaya kapasitas beliau, dan beliau menyanggupi.
Sebelum berangkat, kami sempat diinduksi langsung oleh Ibu Novi (co-founder GSM). Beliau tidak memberi petunjuk detail, hanya menyampaikan hal-hal penting dan memberikan kepercayaan penuh. “Silakan imprivisasi dan otonomi ada ditangan Pak Ali,” kata baliau. Dan di situlah saya belajar, bahwa kepercayaan adalah bentuk tertinggi dari kepemimpinan.
Hari pertama kami tiba, sambutan hangat seperti keluarga lama yang akhirnya pulang. Sebelumnya kami menyusun skenario acara hingga menit per menit. Kami ingin dua hari ini bukan sekadar Bimtek. Tapi perjumpaan yang menyala.
Dan benar saja, hari pertama berjalan penuh rasa. Ada yang mencatat dengan serius, ada yang memotret setiap slide, bahkan peserta yg biasanya pulang awal, kali ini menunggu hingga acara benar-benar selesai. Luar biasa. Tapi yang paling membekas adalah refleksi mereka: “Saya terinspirasi,” “Saya merasa bersemangat lagi,” “Ini bukan pelatihan biasa,” bahkan ada yang berkata, “Workshop seperti ini belum pernah saya temui di pelatihan manapun.” Ya Allah, hati saya hangat sekali.
Yang membuat saya semakin terharu, datanglah rombongan dari Barito Kuala, dipimpin oleh Pak Sukatno. Mereka menempuh perjalanan 4 jam hanya karena rasa ingin tahu mereka tentang GSM. Dan di akhir sesi hari kedua, Pak Sukatno memeluk saya. Bukan sekadar bersalaman. Tapi pelukan hangat seperti saudara yg baru saja bertemu kembali setelahcsekian lama terpisah. “Baru kali ini saya peluk seseorang di pelatihan seperti ini,” katanya. Saya menahan air mata.
“GSM adalah rumah… rumah bagi siapa pun yang resah akan pendidikan dan memiliki energi memberi dampak walau sekecil apapun.”
Di sesi temu komunitas yg merupakan sesi utama dari niat kami berkunjung ke Tanah Laut, para pegiat berbagi harapan. Mereka sepakat memulai kembali dengan hal-hal kecil: menghidupkan grup WA, rutin saling menyapa, membuat ruang perjumpaan. Dan satu kalimat yang membuat dada ini sesak oleh haru: “GSM adalah rumah… rumah bagi siapa pun yang resah akan pendidikan dan memiliki energi memberi dampak walau sekecil apapun.”
Saya pulang dari Tanah Laut membawa oleh-oleh yg tak bisa dibungkus: makna. Dari niat sederhana ingin bersua, lahirlah penguatan komunitas. Bara arang yang menyala. Semoga menjadi awal bagi bara-bara lain di tempat lain.
Terima kasih Tanah Laut Bumi Tuntung Pandang. Terima kasih Dinas Pendidikan & Kebudayaan kab. Tanah Laut, Pak Giri, Pak Arie berserta tim. Terima kasih saudara-saudaraku pegiat Sanak GSM Tanah Laut.
Kalian bukan hanya sahabat seperjuangan, tapi rumah. Tempat kita saling tumbuh dan menumbuhkan.



0 Comments