“Aku bertemu dengan banyak orang yang aku bisa idolkan untuk apa yang masa depanku, mau, bagaimana. Aku bisa mengidentifikasi diri sendiri. Aku perasaannya gimana.”
Tanpa disunting sama sekali, itu adalah kesan dari salah satu siswa perempuan atas kunjungan para relawan ke sekolahnya lewat program Gerakan Turun Sekolah (GTS). Meski susunan kalimatnya masih belum runtut, tetapi dengan niat yang baik untuk memahami maka kita akan mengerti apa yang dimaksudkan pada akhirnya.
Seperti itu gambaran siswa sekolah dalam mengutarakan apa yang diinginkannya dalam pendidikan. Diperlukan empati untuk dapat menjawab angan mereka, bukan tangan besi untuk segera menilai performa mereka secara paksa. Kalau yang terakhir jadi pilihan maka mustahil rasanya bagi siswa dapat menyukai sekolah.
#Kata Anak Muda yang Turun ke Sekolah
Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) sebagai sebuah komunitas akar rumput yang bergerak untuk memajukan pendidikan Indonesia baru saja merampungkan satu bentuk aksi sosial yang melibatkan anak muda dengan tajuk, Gerakan Turun Sekolah (GTS).
Sebanyak 90 anak muda dengan jiwa kepedulian yang besar berhasil tergabung menjadi sukarelawan untuk berdialog bersama 600 siswa di 11 sekolah yang terdapat di jejaring GSM Kulon Progo. Tema yang diangkat pada kegiatan GTS kali ini adalah “Student Voice: Suara Anak Indonesia”.

“Berawal dari keresahan atas pemerintahan yang dalam membuat kebijakannya tidak berdasar pada kebutuhan siswa, GSM mencoba untuk mencari tahu apa yang benar-benar siswa butuhkan,” ucap Sekar sebagai salah satu koordinator kegiatan GTS.
“Kami mengajak anak muda karena melihat adanya tren bahwa mereka sangat menyukai isu sosial ekonomi, hal tersebut diperkuat oleh penelitian dari IDN Times, sehingga mereka cocok dijadikan agen untuk dapat membuat perubahan di sekolah,” ucap Aliya yang juga merupakan salah satu pegiat muda GSM.
Terdapat dua temuan utama dari kegiatan GTS edisi ketiga ini. Pertama, banyak anak-anak yang ternyata masih takut dalam bermimpi. Kedua, yaitu guru yang masih menjadi salah satu momok dalam membuat anak tidak senang bersekolah.
Sekar turut menambahkan fakta kalau masih banyak murid yang mendapatkan pengalaman tidak menyenangkan dalam bersekolah dari guru. “Beberapa penempatan posisi guru belum berhasil menjawab kebutuhan murid. Guru masih belum mampu membuat kelas yang menyenangkan. Alhasil, para murid mencari kesenangannya sendiri,” pungkas Sekar.
Ia juga menyatakan bahwa kesenangan yang dimaksud bukanlah sensasi yang muncul dari fasilitas yang canggih atau lengkap, tetapi sesuatu yang berkaitan dengan sisi kebatinan.
Aul, salah satu sukarelawan muda dari GTS, turut membagikan potret nyata yang didapatkannya setelah turun ke lapangan menjumpai siswa dan siswi. “Ternyata pendidikan Indonesia masih jauh dari harapan. Para murid bingung bagaimana cara mengungkapkan mimpinya, apalagi mencapainya. Mimpi anak-anak Indonesia terkubur. Anak-anak melihat orang-orang dengan pekerjaan yang hanya itu-itu saja. Monoton,” ucap Aul.

Aul juga menyampaikan alasan para relawan muda mau untuk terlibat di dalam GTS, yaitu mereka ingin semaksimal mungkin memanfaatkan privilesenya dalam berpendidikan tinggi.
“Sekolah tinggi-tinggi, tetapi ngga bisa bermanfaat untuk orang lain. Ilmunya untuk apa? Belajar tidak hanya cukup di perkuliahan. Ayo sama-sama memperbaiki pendidikan kita,” tambahnya.
Dalam rangkaian kegiatan Gerakan Turun Sekolah (GTS), para relawan muda dari berbagai daerah tidak hanya mengajar, tetapi juga berdialog dengan murid dan mendengar suara mereka secara otentik. Ini bukan sekadar aksi sosial, melainkan proses pembebasan batin.
“Turun ke lapangan menjadi refleksi bahwa masih ada harapan. Tidak harus masuk ke sistem, sebagai massa kolektif, kita juga dapat berkontribusi lewat penyebaran ide dan gagasan,” jawab Sekar.
Para sukarelawan juga mengakui kalau GTS berhasil mengubah mindset mereka. GTS menjadi ruang reflektif yang mengubah cara pandang mereka terhadap kebahagiaan. Mereka telah merasakan pemaknaan yang mendalam setelah turun ke sekolah dan berdialog bersama para murid. Sesuatu yang mereka rasa jauh lebih penting ketimbang kesenangan sementara yang diciptakan oleh dunia maya.

GSM berharap agar GTS dapat terus dilanjutkan sebagai upaya advokasi akar rumput yang memperjuangkan suara siswa—muara dari proses pendidikan. Besar harapan agar suara para murid yang sudah ditampung dapat menggugah nurani para pembuat kebijakan agar semakin arif dan membumi dalam merumuskan arah pendidikan ke depan.
#Tanggapan Founder GSM atas Geliat Anak Muda di GSM
Muhammad Nur Rizal sebagai pendiri dari GSM, pun, turut hadir dan berkomentar dalam konferensi pers kegiatan GTS. Ia menyayangkan solusi dari pemerintah yang masih belum mampu menjawab persoalan nyata dari pendidikan Indonesia.
“Melihat anak tidak berani bermimpi atau tidak suka sama guru, artinya yang perlu dipikirkan adalah bagaimana caranya agar guru dapat mengajar dengan suasana kebatinan yang baik dan menyenangkan, bukan yang lainnya,” tegas Rizal.
Bagi Rizal, suara siswa bukan sekadar opini pinggiran, melainkan cerminan nurani pendidikan itu sendiri.
“Peran GSM adalah memastikan agar suara siswa dapat kembali dijadikan pijakan dalam pembuatan kebijakan. Jika pendidikan terus melupakan suara siswa, maka pendidikan itu sendiri akan kehilangan jiwa. Sudah saatnya kita kembali ke akar: mendidik manusia, bukan sekadar mengelola sistem,” pungkas Rizal.
“Kita mewarisi sistem pendidikan kolonial yang menjadikan guru sebagai penyampai pengetahuan yang seragam, bukan sebagai penumbuh karakter yang beragam. Padahal, akar pendidikan Nusantara adalah dialog, kebijaksanaan, dan kesetiaan pada makna, bukan sekadar ketaatan pada prosedur,” tambahnya.
#GTS Berhasil Menginspirasi Guru GSM
Dampak dari Student Voice ternyata terus bergulir, kali ini turut menyentak salah satu guru pegiat GSM, yaitu Pak Ali yang merupakan Guru di SMK Negeri 1 Jambu, Kabupaten Semarang. Di dalam kelasnya, sebelum memasuki materi inti dari mata pelajarannya, ia mencoba untuk melakukan aktivitas rutin bernama Circle Time, yaitu sesi saling berdialog tanpa ada penghakiman sehingga para siswa dapat menyampaikan aspirasinya tanpa perasaan takut. Topik yang dibawakan oleh Pak Ali, sesuai dengan topik yang diangkat oleh GTS, yaitu keresahan pelajar terhadap pendidikan di Indonesia.

Di dalam sebuah esai, Pak Ali menuliskan alasan mengapa bulan pendidikan adalah saat yang paling tepat untuk mengangkat topik tersebut, yaitu karena pada masa ini, kita dapat “pura-pura peduli” sebelum kembali disibukkan dengan hal-hal “yang lebih penting”, seperti akreditasi. Sebuah satir yang cukup menohok.
Pak Ali mengawali Circle Time dengan sebuah pertanyaan, yaitu “Menurut kalian, pendidikan di Indonesia itu kayak gimana, sih?”. Dari situ, didapatkan banyak jawaban menarik dari para murid yang menandakan kalau pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata berkualitas. Jawabannya, mulai dari sekolah yang dianggap seperti penjara, hingga murid yang merasa kalau di sekolah tidak ada yang mengajak “ngobrol”.
Berikutnya, pertanyaan yang dilemparkan Pak Ali semakin menarik, yaitu “Kalau kalian jadi Menteri Pendidikan, apa yang bakal kalian ubah?”. Benar saja, pertanyaan yang baik akan melahirkan jawaban yang menggugah, didapatkanlah jawaban-jawaban yang menarik dan sempat dikelompokkan oleh Pak Ali sendiri, yaitu aturan ketat (44%), metode belajar (25%), guru (15,5%), serta sistem pendidikan dan kurikulum (15,5%).
Satu sebelum terakhir adalah fase diskusi yang menimbulkan banyak ide dan masukan brilian dari murid terhadap pendidikan di Indonesia, seperti aturan yang perlu dibahas terlebih dahulu bersama murid sebelum diketok, kesadaran tidak dapat tumbuh hanya karena “suruhan untuk taat” tanpa ajakan bicara, belajar yang prakteknya dialog dua pihak, dan masih banyak lagi.
Terakhir adalah refleksi. Anak-anak menyampaikan perasaannya atas metode Circle Time yang diberlakukan Pak Ali. Mereka merasa senang karena diberikan kesempatan untuk berkata jujur, didengarkan, bahkan ada yang betulan memiliki keinginan untuk menjadi menteri.
Selepas seluruh rangkaian selesai, Pak Ali mengajak setiap muridnya untuk berkomitmen dengan bunyi, “Setelah ini, kita belajar bareng. Namun, bukan cuma soal teori. Kita belajar memahami karena pendidikan itu bukan soal hafalan, tetapi soal menjadi manusia.”
#Connecting the Unconnectedness
Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) hadir sebagai gerakan akar rumput yang berupaya untuk menyambungkan kembali connected the unconnectedness yang selama ini terputus—antara dunia pendidikan dan anak muda.

Sebagaimana Bung Hatta pernah mengingatkan, kita bukan bangsa kecil yang tak punya sejarah. Kita adalah keturunan bangsa besar yang pernah berjaya dalam perdagangan, budaya, dan ilmu pengetahuan. Meskipun dalam hal teknologi dan ekonomi kita masih tertinggal, kita tidak boleh kehilangan optimisme. Bangsa ini menyimpan modal sosial yang luar biasa.
Lebih dari seabad lalu, Dr. Soetomo menyatakan bahwa masa depan Indonesia hanya bisa dibangun oleh orang-orang Indonesia yang terdidik baik—yang berpikir merdeka, peduli pada sesama, dan bertanggung jawab terhadap bangsanya. Dalam kerangka negara-bangsa modern, hal ini mensyaratkan hadirnya pemerintah yang sungguh-sungguh berpihak pada rakyat.
GSM membuka ruang agar dua modal sosial terbesar kita, yaitu guru dan pemuda saling terhubung. Mahasiswa turun ke sekolah, bertemu langsung dengan siswa dan guru. Siswa menemukan inspirasi dari kakak-kakak muda yang mendengarkan suara mereka dengan serius. Guru bertemu pemuda-pemuda kritis yang membawa perspektif segar dari luar sekolah.

Melalui ruang koneksi ini, pendidikan menjadi hidup kembali—bukan sebagai sistem yang kaku dan menara gading, tapi sebagai medan kolaborasi antargenerasi yang saling menyemai harapan. Di sinilah revolusi kultural pendidikan kita mulai berakar, dari bawah, dari sekolah-sekolah yang mau berubah, dari guru-guru yang terus belajar, dan dari anak muda yang berani bersuara.
Sama seperti Boedi Oetomo yang berhasil membangun kesadaran kolektif terhadap ketimpangan zamannya, GSM hadir sebagai suara nurani pendidikan hari ini agar kita tidak kehilangan arah dan jati diri,” tutup Rizal.
Penulis: Dimas Adytya Putranto
Editor: Viska Erma Mustika
0 Comments